Fenomena Upah Rendah: Kontradiksi Pasar Kerja Indonesia di Mata Bank Dunia

 LAPORAN: <a href='https://rmol.id/about/reni-erina-1'>RENI ERINA</a>
LAPORAN: RENI ERINA
  • Rabu, 17 Desember 2025, 09:01 WIB
Fenomena Upah Rendah: Kontradiksi Pasar Kerja Indonesia di Mata Bank Dunia
Ilustrasi (RMOL/Reni Erina)
rmol news logo Stabilitas ekonomi makro Indonesia mendapat pujian. Namun, Bank Dunia mendesak pemerintah untuk meninjau kembali fondasi pertumbuhan tersebut. 

Dalam peluncuran Indonesia Economic Prospects (IEP) di Jakarta, Selasa 16 Desember 2025, Bank Dunia menemukan adanya jurang pemisah antara angka-angka pertumbuhan dan realitas kesejahteraan rumah tangga, yang dipicu oleh krisis kualitas lapangan kerja.

Carolyn Turk, Direktur Bank Dunia untuk Indonesia dan Timor Leste, menyoroti bahwa penyerapan tenaga kerja memang naik 1,3 persen hingga Agustus 2025, namun peningkatan tersebut didominasi oleh sektor berupah rendah.

Lebih jauh, laporan ini membunyikan alarm tentang upah riil, yang secara mengejutkan terus mengalami penurunan sejak 2018.

"Segmen keterampilan menengah ini sedang menyusut," kata Carolyn Turk.

David Knight, Lead Economist Bank Dunia, menggarisbawahi paradoks tersebut. Meskipun kuantitas penciptaan lapangan kerja terlihat positif, efeknya terhadap kesejahteraan hampir nihil karena tertekan oleh penurunan upah.

 "Penambahan lapangan kerja terlihat positif, tapi pada saat yang sama masih terjadi penurunan upah. Ini sangat berdampak bagi pekerja berketerampilan menengah dan pada akhirnya mempengaruhi kesejahteraan rumah tangga serta perekonomian secara keseluruhan," jelas Knight.

Ancaman ini terutama dirasakan oleh pekerja muda yang terpaksa masuk ke sektor informal berupah rendah.

Analisis Bank Dunia menunjukkan bahwa rasa tidak aman ekonomi justru meningkat, terutama di kalangan kelas menengah.

"Hasil survei menunjukkan adanya kesenjangan yang semakin lebar antara perbaikan kesejahteraan secara objektif dan persepsi masyarakat. Walaupun angka kemiskinan menurun, jumlah rumah tangga yang merasa miskin justru meningkat," ungkap David Knight.

Kondisi psikologis ini memiliki konsekuensi ekonomi: rumah tangga menjadi lebih berhati-hati dalam pengeluaran dan memilih menabung, meskipun indikator makroekonomi menunjukkan stabilitas. Dengan kata lain, mereka menahan laju konsumsi karena adanya kekhawatiran nyata di tingkat individual.

Oleh karena itu, Bank Dunia menegaskan bahwa perbaikan kualitas lapangan kerja adalah satu-satunya kunci untuk memastikan pertumbuhan ekonomi Indonesia benar-benar inklusif dan berkelanjutan, bukan sekadar statistik di atas kertas. rmol news logo article
EDITOR: RENI ERINA

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

FOLLOW US

ARTIKEL LAINNYA