Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Kreativitas Pembelajaran

 OLEH: <a href='https://rmol.id/about/tatang-muttaqin-5'>TATANG MUTTAQIN</a>
OLEH: TATANG MUTTAQIN
  • Senin, 08 Januari 2018, 10:47 WIB
Kreativitas Pembelajaran
AHAD kemarin saya diminta menyampaikan paparan perbandingan pembelajaran oleh pengelola Yayasan Pendidikan Matahati Kabupaten Bandung.

Tak mudah membandingkan pembelajaran dalam paparan yang terbatas sehingga dipilih pembelajaran yang dianggap cukup berhasil setidaknya dengan standar internasional yang dikenal dengan Programme for International Students Assessment (PISA) yang dilakukan setiap tiga tahun sekali oleh organisasi kerjasama ekonomi negara maju atau OECD.

Dari penelusuran kinerja pendidikannya, negara-negara yang tergabung di Uni Eropa seperti Belanda dan negara-negara di Asia Timur, seperti Korea dan Jepang selalu bertengger di papan atas sekalipun melakukan pembelajaran yang jauh berbeda yang satu sangat rileks dan satunya lagi sangat ketat. Untuk memudahkan, saya pilih pembelajaran di Belanda sebagai contoh yang sangat rileks dan Korea Selatan sebagai representasi yang sangat ketat yang kebetulan pernah mukim cukup lama di Negeri Kincing Angin dan beberapa kali ke Negeri Ginseng.

Pembelajaran di Belanda secara formal dimulai di jenjang Openbare School atau sekolah dasar (SD) selama delapan tahun dimulai usia 4 sampai usia 12 tahun. Untuk kelas 1 dan 2 di samping belum ada pelajaran secara terstruktur juga mempraktekkan kelas campuran 1 dan 2 dengan menekankan anak bisa bermain, bersosialisasi dan hidup mandiri. Baru di kelas 3-8 pelajaran mulai terstruktur namun mata pelajarannya sedikit dan lebih bersifat praktis untuk survival seperti baca tulis dan berhitung (Calistung) serta sains dan kemasyarakatan (society).

Secara umum, sekolah dasar ditujukan untuk memastikan tumbuh kembang fisik, mental dan sosial sehingga anak bisa hidup sehat dan mandiri, mampu hidup berdandengan dengan yang lain secara percaya diri. Di sinilah empat pilar pembelajaran dipraktekkan, yaitu: belajar untuk tahu (learning to know), belajar untuk melakukan (learning to do), belajar untuk menjadi (learning to be) dan belajar untuk bisa hidup bergandengan bersama secara damai (learning to live together).

Menariknya, di samping pembelajaran sangat rileks dan tidak ada pekerjaan rumah (PR) untuk jenjang SD, di Belanda tidak ada kurikulum nasional. Dengan mempraktekan manajemen berbasis sekolah, para guru bersama-sama membuat rencana pembelajaran sekaligus menyeleraskan dengan kebutuhan survival di daerahnya.

Di kelas 7, anak-anak mengikuti semacam ujian, Cito Eindtoets Basisonderwijs yang bertujuan untuk memetakan potensi untuk rekomendasi jenjang pendidikan selanjutnya sehingga di kelas 8 sebagai kelas terakhir orang tua dan anak bisa mempertimbangkan jalur yang tetap pendidikan menengah, antara jalur akademik dan jalur kejuruan.

Selepas SD, anak-anak melanjutkan jenjang menengah, yaitu: (1) persiapan pendidikan kejuruan menengah atau Voorbereid Middelbaar Beroepsonderwijs (VMBO), (2) Sekolah Lanjutan Atas Umum atau Hooger Algemeen Voortgezet Onderwijs (HAVO) yang memberikan akses langsung ke sistem pendidikan tingkat tinggi atau Hogescholen (HBO), (3) Sekolah Persiapan Ilmu Pengetahuan atau Voorbereidend Wetenschappelijk Onderwijs (VWO) bisa langsung melanjutkan ke universitas.

Jenjang menengah merupakan saat memulai belajar lebih serius terutama di jalur akademik (VWO) dengan mulai belajar Bahasa Asing (Inggris, Perancis dan Latin) serta tugas baca buku dan presentasi secara teratur dan terstruktur. Secara umum hanya sedikit yang lanjut universitas (akademik), lebih banyak diploma keahlian atau lanjut di pendidikan tinggi terapan (politeknik).

Berbeda jauh dari pembelajaran rileks di Belanda, pembelajaran di Korea Selatan sangat ketat. Bagi orang Korea, pendidikan merupakan hidup-mati. Hal ini dapat dipahami karena Korea Selatan yang terbatas sumber daya alamnya juga dikelilingi negara tetangga yang “kurang bersahabat”, yaitu: China, Rusia, Korea Utara, dan Jepang sehingga pilihannya menjadi manusia unggul atau mati. Dengan kondisi alamiah tersebut, wajib belajar 12 tahun ditetapkan sehingga menjadi negara dengan angka melek huruf tertinggi di dunia.

Pencapaian PISA siswa di Korea Selatan, baik untuk Sains, Matematika, dan Membaca selalu berada di posisi teratas. Angka partisipasi Pendidikan tinggi mencapai 90 persen, di mana 84,6 persen siswa laki-laki dan 82,4 persen siswa perempuan lanjut ke perguruan tinggi.

Bagi orang Korea Selatan, sekolah sebagai “kawah candradimuka” yang melatih dengan sangat ketat siswanya. Jam 07.40, siswa harus sudah tiba di sekolah dan memulai pelajaran tepat jam 08.20 dan selesai jam 19.30 sehingga menjadi negara dengan jam pelajaran sekolah terlama di dunia. Di samping kelas terstruktur, jam 19.30 sampai jam 22.30, anak-anak melanjutkan belajar Bersama di aula atau jika mampu mengikuti les di lembaga bimbingan belajar swasta.

Sebagian bahkan, melanjutkan les dari jam 22.30 sampai 24.00 atau mengerjakan PR dan persiapan belajar besoknya. Sebelumnya bahkan, kelas baru selesai pukul 21.45 dan hari sabtu masuk sekolah namun karena berdampak negatif sehingga banyak yang tidak tahan dan meningkatnya angka bunuh diri, pemerintah merespon dengan memundurkan awal masuk sekolah SD menjadi pukul 09.00 sehingga diharapkan anak-anak cukup istirahat. Kebijakan selanjutnya, lembaga kursus atau bimbingan belajar harus tutup pukul 21.00. Sisanya jam 21.00-24.00 disediakan untuk menyelesaikan PR di rumah.

Model pembelajaran yang super ketat dan kompetitif mengakibatkan kesenjangaan kualitas Pendidikan semakin tinggi sehingga anak-anak dari keluarga mampu yang mendapatkan banyak kesempatan belajar tambahan dapat menikmati perguruan tinggi terbaik di Korea. Di samping itu, biaya pendidikan anak menjadi sangat mahal dan tak mungkin terjangkau keluarga kurang mampu sehingga akhirnya tersisih.  

Belajar dari pembelajaran yang rileks dan ketat tersebut, tentu saja tak sepenuhnya bias ditiru di Indonesia karena kalau terlalu rileks seperti di Belanda, capaian kemajuan sosial dan ekonomi Indonesia masih terlalu jauh sehingga membutuhkan ikhtiar yang lebih keras dan berlipat namun menjiplak cara ketat Korea Selatan juga tidak arif karena realitas kesenjangan akses dan kualitas Pendidikan Indonesia saat ini pun sudah sangat tinggi, jika dilakukan akan semakin mempertajam kesenjangan yang ada.

Oleh karena itu diperlukan strategi yang tepat untuk meningkatkan kualitas pembelajaran sehingga efektif dan efisien. Misalnya, pendekatan pembelajaran di sekolah perlu digeser dari yang pendekatan expository yang melelahkan menjadi pendekatan discovery yang menantang bagi anak-anak dan akan terus diingat sebagai sebuah pencapaian.

Selanjutnya, di samping pendidikan untuk meningkatkan pengetahuan dan keterampilan juga perlu menstimulasi untuk anak berkreasi sehingga mampu memupuk kreativitas sejak dini. Tak kalah pentingnya, sumber ilmu pengetahuan tersedia dengan sangat mudah dan melimpah tinggal bagaimana memanfaatkannya melalui pemanfaatan teknologi informasi dan fasilitas komunikasi secara tetap dan efektif untuk pembelajaran.

Adopsi dan adaptasi pembelajaran lewat makna dan isyarat yang dibuat oleh Sekolah Dasar Islam Terpadu Matahati merupakan contoh kreativitas pembelajaran yang perlu terus digali, dikembangkan dan digetuktularkan untuk meningkatkan efektifitas pembelajaran yang kuncinya adalah kreativitas pengajar.[***]


Pemerhati pendidikan dan anggota the James Coleman Associations

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA