Menurut Ketua Umum Fatayat NU Anggia Ermarini, Hari Anak Nasional yang diperingati setipa 23 Juli menjadi momentum bagi pemerintah untuk dapat lebih memperhatikan kehidupan anak Indonesia.
"Kami mendesak pemerintah sebagai eksekutor untuk membuat langkah nyata dalam memutus perkawinan anak di bawah umur," kata Anggia dalam keterangannya, Senin (24/7).
Sementara itu, anggota Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Ai Maryati Sholihah menjelaskan, berdasarkan data Pusat Kajian Gender dan Seksualitas Universitas Indonesia tahun 2015, pernikahan anak di Indonesia menempati peringkat dua teratas di Asia Tenggara. Sekitar 2 juta dari 7,3 perempuan Indonesia berusia di bawah 15 tahun sudah menikah dan putus sekolah.
Padahal, UU Perkawinan Bab II pasal 7 ayat 1 menyebut bahwa perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria mencapai umur 19 tahun dan pihak perempuan sudah mencapai umur 16 tahun.
Angka 16 tahun dalam usia perkawinan perempuan berpotensi melanggar atau tidak sesuai dengan Undang-Undang 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, UU 39/1999 tentang HAM, UU 7/1984 tentang Ratifikasi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan dan UU 23/2002 dan hasil revisi UU 35/2014 tentang Perlindungan Anak.
Untuk itu, Maryati mengimbau agar DPR dapat menjadi pionir bagi perubahan UU Perkawinan, terkait peningkatan batas usia perkawinan anak agar lebih banyak mendapat partisipasi dari publik.
"Kami mengajak masyarakat, khususnya DPR untuk berupaya kembali merevitalisasi gerakan revisi UU Perkawinan menuju pendewasaan usia perkawinan. Sebagai jalan tengah dalam kuatnya perbedaan pandangan tentang perkawinan usia anak," imbuhnya.
[wah]
BERITA TERKAIT: