Pengujian norma tersebut telah diregistrasi MK sebagai perkara Pengujian Undang-Undang (PUU) Nomor 104/PUU-XXIII/2025, yang diajukan Yusron Ashalirrohman (Pemohon I), Roby Nurdiansyah (Pemohon II), Yudi Pratama Putra (Pemohon III), dan Muhammad Khairi Muslimin (Pemohon IV).
MK telah menggelar dua kali sidang terhadap perkara itu, di antaranya Sidang Pendahuluan dengan agenda mendengar pokok Permohonan para Pemohon. Kemudian yang kedua, Sidang Perbaikan Pendahuluan dalam rangka mendengar materiil perbaikan Permohonan.
Dalam sidang kedua, telah diperbaiki materiil Permohonan yang isinya mengenai pasal-pasal yang dianggap bertentangan dengan konstitusi atau Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia (UUD NRI) 1945.
"Kami juga memperbaiki pokok Permohonan yang diubah pada beberapa bagian, yakni sistematika permohonan, pembuktian terkait kode etik penyelenggaraan, kewenangan Bawaslu, dan pembagian kewenangan penanganan pelanggaran administrasi antara Bawaslu dan KPU," jelas Pemohon I, Yusron dikutip dari laman
mkri.id, Senin, 28 Juli 2025.
Pada pokoknya, Permohonan para Pemohon menguji Pasal 139 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3), serta Pasal 140 ayat (1) UU Pilkada, karena dinilai bertentangan dengan Pasal 22E ayat (1) dan Pasal 28D ayat (1) UUD NRI 1945.
Para Pemohon berkeinginan agar desain pola penanganan pelanggaran administrasi dalam rezim pilkada disamakan dengan rezim pemilihan umum (pemilu). Sebab dalam penanganan pelanggaran administrasi keduanya terdapat perbedaan yang cukup ekstrem.
Pada pelanggaran administrasi Pemilu, perkara diperiksa dan diputuskan oleh Bawaslu, Bawaslu provinsi, dan Bawaslu kabupaten/kota. Putusan tersebut wajib ditindaklanjuti oleh KPU, KPU provinsi dan KPU kabupaten/kota.
Terhadap putusan tersebut, tidak tersedia upaya "memeriksa dan memutus" kembali, sehingga KPU, KPU provinsi dan KPU kabupaten/kota wajib menindaklanjuti putusan tersebut. Apabila tidak ditindaklanjuti, anggota KPU, KPU provinsi dan KPU kabupaten/kota akan dikenakan sanksi pelanggaran kode etik penyelenggara Pemilu.
Sementara pada pola penanganan pelanggaran administrasi dalam Pilkada, dilakukan dengan membuat rekomendasi atas hasil kajian oleh Bawaslu Provinsi dan atau Bawaslu Kabupaten/Kota. Kemudian terhadap rekomendasi tersebut, KPU Provinsi dan/atau KPU Kabupaten/Kota wajib menindaklanjuti namun dalam bentuk memeriksa dan memutus, yakni berupa telaah ulang sebagaimana PKPU Nomor 15 Tahun 2024.
Dalam pandangan para Pemohon, pasal a quo secara nyata telah melemahkan sistem checks and balances antar penyelenggara Pilkada.
Kedudukan KPU yang seolah-olah menjadi lembaga banding atas rekomendasi Bawaslu, khususnya ketika rekomendasi menyangkut dugaan pelanggaran oleh KPU sendiri atau jajarannya, telah menciptakan ketidakpastian dan merusak keseimbangan kelembagaan yang esensial.
BERITA TERKAIT: