Penangguhan Penahanan Ditolak, Menkum Sebut Proses Ekstradisi Paulus Tannos Masih Panjang

 LAPORAN: <a href='https://rmol.id/about/jamaludin-akmal-1'>JAMALUDIN AKMAL</a>
LAPORAN: JAMALUDIN AKMAL
  • Selasa, 17 Juni 2025, 18:35 WIB
Penangguhan Penahanan Ditolak, Menkum Sebut Proses Ekstradisi Paulus Tannos Masih Panjang
Menteri Hukum, Supratman Andi Agtas/RMOL
rmol news logo Proses ekstradisi tersangka kasus dugaan korupsi proyek KTP-elektronik (KTP-el), Paulus Tannos (PT) selaku Direktur Utama (Dirut) PT Sandipala Arthaputra disebut masih panjang meskipun upaya penangguhan penahan sudah ditolak Pengadilan Singapura.

Hal itu disampaikan langsung Menteri Hukum, Supratman Andi Agtas menyampaikan perkembangan putusan Pengadilan Singapura terkait permohonan penangguhan penahanan yang diajukan Paulus Tannos.

"Saya didampingi Pak Dirjen AHU dan juga staf khusus menteri telah menerima pemberitahuan dari otoritas pusat di Singapura terkait dengan keputusan pengadilan Singapura terkait dengan permohonan penangguhan penahanan dengan jaminan atau yang kita kenal dengan istilah provisional arrest," kata Supratman di Kantor Kementerian Hukum, Jakarta Selatan, Selasa 17 Juni 2025.

Supratman menyebut bahwa proses ekstradisi masih panjang. Pasalnya, penentuan ekstradisi Paulus Tannos masih harus ditentukan melalui persidangan yang baru akan digelar 23-25 Juni 2025.

"Kita tinggal menunggu, prosesnya masih akan panjang, Kementerian Hukum sebagai otoritas pusat terus berkoordinasi dengan KPK, kemudian Mabes Polri lewat Divisi Hubungan Internasional dan juga Kejaksaaan Agung terus melakukan komunikasi. Karena nanti tanggal 23 sampai dengan tanggal 25 Juni ini akan dilakukan pemeriksaan terkait dengan pokok perkara yakni apakah permintaan ekstradisi kita itu akan dikabulkan atau ditolak," jelas Supratman.

Namun demikian kata Supratman, dirinya mengaku belum mengetahui secara rinci alasan penolakan penangguhan penahanan Paulus Tannos. 

Setelah adanya putusan dari Pengadilan Singapura tentang proses ekstradisi, kedua pihak yakni pemerintah Indonesia dan Paulus Tannos hanya memiliki satu kesempatan untuk upaya banding.

"Setelah keputusan kalau ternyata nanti dinyatakan permohonan ekstradisi kita diterima, masing-masing pihak baik kita sebagai pemohon maupun yang bersangkutan masih memungkinkan untuk mengajukan upaya banding sekali dan karena itu kita tunggu," pungkas Supratman.

Sebelumnya, KPK menyambut positif putusan Pengadilan Singapura yang menolak permohonan penangguhan penahanan yang diajukan Paulus Tannos.

"Sehingga terhadap PT akan tetap dilakukan penahanan. KPK berharap proses ekstradisi DPO PT berjalan lancar, dan menjadi preseden baik kerjasama kedua pihak, Indonesia-Singapura, dalam pemberantasan korupsi," kata Jurubicara KPK, Budi Prasetyo kepada wartawan, Selasa pagi, 17 Juni 2025.

Paulus Tannos berhasil ditangkap di Singapura oleh lembaga antikorupsi Singapura. Sebelum penangkapan, Divisi Hubungan Internasional Polri mengirimkan surat penangkapan sementara (provisional arrest request) kepada otoritas Singapura untuk membantu penangkapan buronan tersebut.

Lalu, pada 17 Januari 2025, Jaksa Agung Singapura mengabarkan bahwa Paulus Tannos sudah ditangkap. Hingga saat ini, pemerintah Indonesia sedang melakukan proses ekstradisi Paulus Tannos.

Paulus Tannos telah ditetapkan sebagai tersangka pada Agustus 2019 lalu bersama 3 orang lainnya, yakni Miryam S Haryani selaku anggota DPR periode 2009-2014, Isnu Edhi Wijaya selaku Dirut Perum PNRI yang juga Ketua Konsorsium PNRI, dan Husni Fahmi selaku Ketua Tim Teknis Teknologi Informasi Penerapan KTP Elektronik.

Pada 13 November 2017 lalu, Miryam telah divonis 5 tahun penjara dan denda Rp200 juta subsider 3 bulan kurungan dalam kasus yang berbeda, yakni kasus pemberian keterangan palsu saat bersaksi di sidang kasus korupsi KTP-el.

Sementara itu, untuk Husni Fahmi dan Isnu Edhi Wijaya masing-masing divonis penjara 4 tahun dan denda Rp300 juta subsider 3 bulan kurungan oleh Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pada Senin 31 Oktober 2022.

Dalam kasus korupsi KTP-el, PT Sandipala Arthaputra yang dipimpin Paulus diduga diperkaya sebesar Rp145,85 miliar, Miryam Haryani diduga diperkaya sebesar 1,2 juta dolar AS, manajemen bersama konsorsium PNRI diduga diperkaya sebesar Rp137,98 miliar dan Perum PNRI diduga diperkaya sebesar Rp107,71 miliar, serta Husni Fahmi diduga diperkaya sebesar 20 ribu dolar AS dan Rp10 juta.

Dalam perkembangan perkaranya, KPK telah mencegah Miryam agar tidak bepergian ke luar negeri selama 6 bulan pertama sejak 9 Februari 2025.rmol news logo article

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

FOLLOW US

ARTIKEL LAINNYA