Pengacara terdakwa kasus investasi bodong, Dohar Jani Simbolon mengatakan, para korban melaporkan aparat penegak hukum (APH), dalam hal ini Bareskrim Polri dan Kejagung kepada KPK.
"Banyak barang-barang bukti yang disita, yang dirampas tidak masuk dalam berkas perkara," kata Dohar kepada wartawan di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta Selatan, Rabu 16 April 2025.
Kasus hilangnya barbuk ini, kata Dohar, diketahui setelah adanya perdamaian antara korban dengan para terdakwa. Dalam narasi perdamaian itu, terdakwa akan terbuka terkait dengan barbuk yang telah dirampas kepolisian, namun tidak ada dalam berkas perkara.
"Kemudian dengan surat perjanjian itu, dihubungkan dengan fakta di persidangan, para terdakwa ini sudah terbuka. Misalnya ya, terdakwa Suryani yang pada saat persidangan mengatakan, satu buah tas Hermes hilang, dirampas, disita, tapi tidak masuk dalam berkas perkara. Harganya Rp1 miliar tas Hermesnya," kata Dohar.
Tak hanya itu, kata Dohar, ada juga sembilan sertifikat tanah hak milik digadai oleh oknum pengacara senilai Rp7,5 miliar yang juga sudah disita, namun tidak masuk dalam berkas perkara.
"Ternyata usut punya usut, sertifikat ini sekarang yang dirampas ini ada dalam penguasaan pihak lain, digadai juga. Sangat mengerikan ya, digadai juga oleh si oknum pengacara ini," kata Dohar.
Sementara itu, kuasa hukum 600 orang korban, Siti Mylanie Lubis menambahkan, dalam pelaporan ke KPK, pihaknya membawa bukti-bukti, berupa foto, rekaman pembicaraan, dan dokumen penting lainnya.
"Dan begitu juga pernah kita sampaikan juga di RDP (rapat dengar pendapat di Komisi III DPR), terkait ada penyalahgunaan wewenang di sini, juga prosedur KUHAP yang tidak dijalankan, dan juga barang-barang bukti yang hilang tidak jelas ke mana," kata Mylanie.
Dalam RDP dengan Komisi III DPR, kata Mylanie, terdapat narasi dari pihak Kepolisian bahwa barbuk hanya tinggal 51 dolar AS. Padahal, ada barbuk uang dalam mata uang asing lainnya.
"Tapi kenapa sangat berbeda dengan yang disampaikan di RDP, bahkan juga nilai-nilai barang bukti yang diberikan oleh penyidik berbeda, nilai barang bukti yang diberikan oleh jaksa berbeda, bahkan nilai barang bukti yang diberikan oleh putusan pengadilan berbeda. Jadi kami nggak tahu nih, yang mana nih hitungan yang benar," tanya Mylanie.
Mylanie menyebut, kerugian dari barbuk yang hilang setelah disita itu mencapai Rp1 triliun lebih.
"Ya kalau di awal kan dibilang Rp1,4 triliun itu uang sitaannya, tapi kemarin di RDP Rp103 miliar. Ya tinggal dihitung aja, tinggal 10 persennya juga nggak sampai. Kalaupun memang ada penyusutan, ya nggak mungkin sampai segitulah," tutur Mylanie.
Untuk itu, para korban melaporkan penyidik Bareskrim Polri dan jaksa di Kejagung kepada KPK. Mereka meminta agar KPK dapat mengusutnya untuk menyelamatkan para korban.
"Kami nggak tahu lagi mau ngadu ke mana, karena kami ngadu ke Propam tidak berjalan, ngadu ke Jamwas tidak berjalan, ke Kompolnas juga, ke Komjak pun juga, ya kita lihat Komjak juga nggak ada giginya gitu lho. Sekarang kita pikirkan, apa gunanya jadinya Kompolnas dan Komjak kalau nggak ada gunanya bisa menindak oknum-oknum ini, gitu lho. Bubarkan saja," tegas Mylanie.
"Tadi respon KPK cukup baik terhadap barang-barang bukti ya memang yang kita berikan cukup sensitif ya, tapi ya kami berharap KPK benar-benarlah bersama kita para korban, karena kalau nggak, kita nggak tahu lagi mengadu ke mana, sudah mati keadilan di sini," sambung Mylanie.
BERITA TERKAIT: