Point di atas merupakan buah pikiran tiga narasumber, Petrus Selestinus advokat dan koordinator Tim Pembela Demokrasi Indonesia (TPDI); Tama S. Langkun, Jubir TPN Ganjar-Mahfud dan Emrus Sihombing, komunikolog Indonesia dalam diskusi publik Lembaga Gogo Bangun Negeri (GBN) bertajuk “Keputusan MK, Adil Untuk Siapa” di Kawasan Pasar Minggu, Jakarta Selatan, pada Sabtu (21/10)
“Putusan MK No. 90/PUU-XXI/2023 berpotensi melanggar rambu-rambu berupa asas penyelenggaraan kekuasaan kehakiman sebagaimana dimaksud dalam pasal 17 ayat 3,4, dan ayat 5, sehingga berdasarkan ketentuan pasal 17 ayat 6 dan ayat 7 UU No. 48 Tahun 2009, putusan MK itu menjadi tidak sah dengan segala akibat hukumnya,” kata Petrus.
Lanjut dia, dari putusan ini, Jokowi, Gibran Rakabuming Raka dan Hakim Mk Anwar Usman bisa saja atau berpotensi dilaporkan secara pidana ke aparat hukum.
Apalagi, Anwar Usman dapat diadukan ke Mahkamah Kehormatan Hakim Konstitusi untuk diproses atas dugaan pelanggaran etik dan berujung pemecatan.
Selain Petrus, Tama S. Langkun juga mempersoalkan Keputusan MK yang langsung dikabulkan oleh hakim MK tanpa adanya intervensi.
Padahal, bicara
legal standing, biasanya di MK sangat kuat.
"Sekarang tampaknya longgar. Kenapa longgar? Ada mahasiswa pengagum Walikota Solo, tiba-tiba punya
legal standing untuk menggugat. Alasannya, karena mahasiswa anak muda. Kan tidak ada hubungannya juga,” ungkap dia.
“Sebab, yang digugat materi tentang kepala daerah maju menjadi calon presiden/wakil presiden. Jadi,
legal standing ini agak aneh. Kami juga pernah mengajukan permohonan gugatan ke MK, tapi ditolak karena
legal standing tidak jelas. Nah, sekarang mahasiswa tiba-tiba diterima," jelas Langkun.
Bukan hanya Langkun, Emrus Sihombing juga mengatakan bahwa setiap warga negara wajib menghargai keputusan MK. Sebab, keputusan bersifat final dan mengikat.
Namun di sisi lain, untuk keputusan ini, Emrus mengajak masyarakat memberikan pemikiran atau kritis.
"Pengajuan calon presiden dan wakil presiden dari kepala daerah di bawah usia 40 tahun dikabulkan oleh MK, di tengah puluhan gubernur dan ratusan kepala daerah tingkat dua terjerat kasus korupsi,” tegasnya.
“Artinya apa? MK memberikan suatu
privilege (perlakuan eksklusif) terhadap kepala daerah untuk menjadi calon presiden/wakil presiden sekalipun umurnya di bawah 40 tahun. Keputusan ini tidak sejalan dengan dasar negara kita, Pancasila, sila kelima, “Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia", mengapa?" tanya Emrus.
Guna menjawab tantangan itu, keputusan MK tersebut seharusnya juga memuat bahwa kepala desa, anggota legislatif di semua tingkatan dan DPD RI bisa menjadi calon presiden dan wakil presiden sekalipun usianya di bawah 40 tahun.
“Sebab mereka memperoleh posisi/jabatan tersebut karena dipilih oleh rakyat,” tandas Emrus.
BERITA TERKAIT: