Ketua KPK, Firli Bahuri mengatakan, tingginya animo masyarakat Indonesia harus dibarengi dengan tata kelola penyelenggaraan haji yang profesional, transparan, dan akuntabel. Hal itu menjadi penting mengingat sebelumnya, KPK pernah menangani kasus tindak pidana korupsi di sektor pengelolaan haji.
Berdasarkan kajian Direktorat Monitoring KPK bertajuk "Pengelolaan Keuangan Haji" tahun 2019, terpotret beberapa pos titik rawan korupsi pada penyelenggaraan haji di Indonesia. Salah satu contohnya, markup biaya akomodasi, penginapan, biaya konsumsi, dan biaya pengawasan haji.
"Faktanya menunjukkan ada perbedaan harga mulai dari biaya inap, itu cukup tinggi, termasuk biaya makan dan biaya pengawasan haji. (Berpotensi) timbul kerugian negara Rp160 miliar waktu itu," ujar Firli dalam audiensi bersama BPKH di Gedung Merah Putih KPK, Jalan Kuningan Persada Kav 4, Setiabudi, Jakarta Selatan, Kamis (5/1).
Selain itu kata Firli, KPK juga menemukan permasalahan yakni penetapan Biaya Penyelenggaraan Ibadah Haji (BPIH) tidak sesuai ketentuan dan berpotensi menggerus dana pokok setoran Jemaah. Sebagai contoh, pada 2022, BPIH per satu orang Jemaah ialah Rp 39 juta dari biaya riil seharusnya Rp 98 juta per satu orang.
Pembiayaan penyelenggaraan ibadah haji kata Firli, diperoleh dari setoran jamaah dan nilai manfaat yang diperoleh dari dana kelolaan haji per tahun. Di mana, pada pelaksanaannya, dana tersebut dibedakan menjadi dua, yaitu direct cost dan indirect cost.
Seiring berjalannya waktu, saat ini indirect cost digunakan untuk mensubsidi
direct cost dengan membiayai selisih biasa penerbangan, akomodasi selama di Mekkah dan Madinah. Dengan kebijakan pemerintah sejauh ini yang tidak menaikkan BPIH, subsidi terhadap
direct cost semakin meningkat setiap tahunnya, yakni lebih dari 50 persen.
Kondisi itu kata Firli, harus segera dicarikan solusi agar tidak menjadi bom waktu. Di mana,
indirect cost yang berasal dari dana manfaat, akan cepat habis, sehingga berpotensi merugikan jamaah yang masih masa tunggu. Bahkan, jika kondisi itu terus berlangsung, diperkiraan dana manfaat tersebut akan habis pada 2026-2027.
Oleh karena itu, Firli mengingatkan BPKH untuk melakukan perbaikan sistem pembiayaan haji. Di mana, diperlukan efisiensi dengan memangkas hal-hal yang tidak diperlukan agar pembiayaan tidak membengkak. Selain itu, pos-pos yang dihilangkan tersebut dapat diganti atau memanfaatkan sumber daya yang selama ini tersedia.
"Kalau ada masalah di kemudian hari, peluang, atau rentan korupsi harus diperbaiki sistemnya," pungkas Firli.
Sementara itu, Deputi Bidang Pencegahan dan Monitoring KPK, Pahala Nainggolan mengatakan, dari kajian KPK, diperlukan adanya harmonisasi regulasi dan hubungan kelembagaan antara Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH) dan Kementerian Agama (Kemenag), serta perlu adanya penyelarasan substansi antara UU 34/2014 dan UU 8/2019.
Disharmoni itu kata Pahala, dapat dilihat dari perbedaan definisi BPIH, mekanisme penetapan BPIH, serta pelaporan pertanggungjawaban PIH antara kedua UU tersebut. Jika ditelaah kata Pahala, UU 8/2019 dinilai mengabaikan fungsi dari BPKH dalam pengendalian dan pengawasan keuangan haji.
Di sisi lain, terdapat masalah kinerja penempatan dan investasi yang belum terlalu optimal, sehingga perolehan nilai manfaat belum optimal. Selain itu, pemilihan BPS-BPIH pengelola nilai manfaat berpotensi rawan korupsi karena tidak semuanya melalui proses lelang, tetapi berdasarkan permohonan dari BPS-BPIH.
"Juga masih lemahnya pengawasan dalam penyaluran dana kemaslahatan karena dilaksanakan tanpa tahapan, sehingga rawan penyimpangan dan tidak sesuai dengan proposal yang diajukan," kata Pahala.
Dalam acara audiensi antara KPK dengan BPKH di Gedung Merah Putih KPK itu, KPK menyampaikan rekomendasi. KPK merekomendasikan BPKH untuk menginventarisir masalah dengan segera memperbaiki tata kelola dan menutup celah-celah permasalahan, seperti menyusun SOP penyaluran dana kemaslahatan secara bertahap untuk yang bernilai signifikan, serta memperbaiki kinerja investasi dan penempatan dalam rangka peningkatan nilai manfaat.
"Dari seluruh pihak pengelola dana publik (terpenting) adalah masalah etik dan
conflict of interest. Kredibilitas ini dilihat publik bagaimana (BPKH) menjalankan baik yang kelihatan maupun yang secara terukur telah dijelaskan," pungkas Pahala.
*Judul dan tulisan ini mengalami perbaikan demi akurasi berita
BERITA TERKAIT: