Dalam surat dakwaan, Musa memperkenalkan Mutakin kepada Jailani Parandy, seorang staf anggota DPR RI yang menjadi perantara Abdul Khoir. Perkenalan terjadi saat Jailani mendatangi kediaman Musa di Kalibata, Jakarta akhir Desember 2015. Saat itu, Musa memerintahkan Jailani untuk bertukar nomor telepon.
"Selanjutnya terdakwa mengatakan kepada Mutakin dan Jailani 'kalian kontak-kontakan ya'," ujar Jaksa Wawan Yunarwanto saat membacakan surat dakwaan di Pengadilan Tipikor Jakarta, Kamis (13/7).
Beberapa hari kemudian, Mutakin dan Jailani kembali bertemu di kawasan Komplek Perumahan DPR RI. Dalam pertemuan itulah Jailani menyerahkan dua tas ransel kepada Mutakin berisi uang Rp 7 miliar yang terdiri dari campuran mata uang rupiah dan dolar Singapura. Tanpa percakapan, keduanya berpisah ke tempat tujuan masing-masing.
"Mutakin kembali ke rumah dinas terdakwa dan meletakkan dua tas ransel berwarna hitam di dalam kamar tidur terdakwa. Setelah terdakwa kembali ke rumah dinas, terdakwa memanggil Mutakin dan menunjuk dua tas ransel tersebut sambil mengatakan 'ini ya'," jelas Jaksa Wawan.
Musa sendiri didakwa menerima suap Rp 7 miliar dari komitmen komisi setelah mantan anggota Komisi V DPR dari Fraksi PKB itu mengusulkan program prioritas dalam proyek pembangunan infrastruktur Jalan Taniwel-Saleman dan rekonstruksi Jalan Piru-Saisala di Balai Pelaksanaan Jalan Nasional (BPJN) IX Maluku dan Maluku Utara.
Setelah usulan berhasil, perusahaan milik Abdul Khoir dan PT Cahaya Mas Perkasa yang dipimpin tersangka Soe Kok Seng alias Aseng bakal menjadi pelaksana proyek.
"Patut diduga uang tersebut diberikan untuk menggerakkan agar melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya," demikian Jaksa Wawan.
[wah]
BERITA TERKAIT: