SKANDAL KORUPSI BLBI

Maqdir: Pemanggilan Sjamsul Nursalim Tidak Relevan

 LAPORAN: <a href='https://rmol.id/about/'></a>
LAPORAN:
  • Minggu, 04 Juni 2017, 14:18 WIB
rmol news logo Pemanggilan Sjamsul Nursalim oleh Komisi Pemberantasan Korupsi tidak tepat. Sebab, Sjamsul sudah menyelesaikan kewajiban pembayaran BLBI dengan menyerahkan aset aset yang dimiliki melalui skema perjanjian MSAA (Master Settlement And Acquisition Agreement).

Begitu dikatakan kuasa hukum Sjamsul, Maqdir Ismail dalam surat elektronik yang dikirimkan ke redaksi, Minggu (4/6).

"MSAA diberlakukan bagi pemegang saham yang menyerahkan aset dan dinyatakan nilainya cukup untuk melunasi kewajibannya. Perjanjian MSAA BDNI tersebut selesai ditanda tangani pada tanggal 25 Mei 1999," jelasnya.

Oleh karena itu, Maqdir heran, jika KPK kembali membuka kasus tersebut. Menurut dia, dengan menandatangani MSAA, maka pihaknya sudah menyelesaikan kewajiban mengembalikan dana BLBI.

"Klien kami memilih MSAA karena kooperatif, tapi kenapa terus dipersoalkan, padahal masih banyak obligor obligor BLBI yang tidak kooperatif, tidak mau mengembalikan dana BLBI, namun dibiarkan," jelas Maqdir.

Menurut dia, perjanjian MSAA diputuskan di tahun 1998, sebagai salah satu jalan tengah di tengah krisis ekonomi. Pemerintah yang membutuhkan percepatan pemulihan ekonomi mengesampingkan langkah hukum. Pemidanaan dianggap bukan langkah tepat karena hanya akan memenjarakan orang sementara aset-aset dan harta benda dari pengucuran dana Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) bisa tak kembali, sehingga ekonomi akan mandeg.

Karenanya, butuh terobosoan yang bersifat perdata, berupa perjanjian pengembalian aset dalam program Master Settlement and Acquisition Agreement (MSAA) di bulan September 1998.

"Para obligor merasa perlu kepastian hukum tidak dikejar oleh aparat hukum jika rezim pemerintahan berganti, mata dikeluarkanlah oleh pemerintah saat itu release and discharge”, tegas Maqdir.

Dalam kasus Sjamsul Nursalim di Bank BDNI, sudah dikeluarkan release and discharge pada tanggal 25 Mei 1999.

"Kemudian pada tahun 2002, berdasarkan UU Propenas, pemerintah mengeluarkan Instruksi Presiden No 8 Tahun 2002, yang menjadi dasar penerbitan SKL oleh BPPN. SKL ini pun hanya menyempurnaan dari release and discharge yang sudah keluar tahun 1999,” tambah Maqdir Ismail.

Dalam hukum, persoalan perdata itu harus diselesaikan dulu perdatanya, istilahnya prejudiciel geschill bukan langsung mempidanakan.

"Saya pernah sampaikan, menyangkut masalah yang terkait pasal 81 KUHP, memberi kewenangan kepada hakim pidana untuk menangguhkan pemeriksaan menunggu petusan hakim perdata mengenai persengketaan. Hal ini sudah diatur di dalam surat edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 4 tahun 1980."

Bahkan menurut Maqdir, sekitar bulan Oktober 1998, pemerintah sudah melaporkan kepada International Monetery Fund (IMF) di mana Indonesia terikat dengan Letter of Intents (LOI) yang mengatakan pemerintah bersepakat untuk menyelesaikan kewajiban para obligor BLBI di bawah Badan Penyehatan Perbankkan Nasional (BPPN) dengan penyelesaian secara perdata. Ini pun sudah disetujui oleh IMF.

Dalam situasi negara atau pemerintah sudah menundukan diri secara perdata berupa MSAA, maka pemerintah dan warga negara harus tunduk untuk saling mematuhinya.br>
"Jika ingin mengubahnya, maka batalkan dulu keputusan politiknya dan yang bisa membatalkan MSAA hanya lewat putusan pengadilan atau melalui lembaga arbitrase, karena sudah berlaku seperti undang-undang bagi para pihak. Jadi tidak bisa serampangan karena kedua pihak terikat dalam perjanjian MSAA,” tegas Maqdir Ismail. [sam]

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

FOLLOW US

ARTIKEL LAINNYA