Dikatakan Pengamat Hukum dan Pembangunan, Hardjuno Wiwoho, kontribusi Kwik terhadap upaya penyelamatan keuangan negara sangat besar.
Bahkan tercatat dalam sejarah, Kwik merupakan satu-satunya menteri dalam Kabinet Presiden Megawati Soekarnoputri yang secara terbuka menolak pemberian Surat Keterangan Lunas (SKL) kepada para obligor BLBI.
Penolakannya tak hanya disampaikan dalam rapat kabinet, tapi juga terus ia ulang dalam tulisan dan wawancara hingga masa tuanya.
“Beliau berdiri sendirian menolak penerbitan SKL, ketika semua pihak lain memilih jalan kompromi. Ini adalah keberanian langka dalam sejarah kabinet Indonesia,” ujar Hardjuno kepada wartawan, 31 Juli 2025.
Selain SKL atas BLBI, kata Hardjuno, Kwik juga jadi orang yang paling menentang penjualan Bank Central Asia (BCA).
Di masa itu, BCA adalah bank yang memegang obligasi rekap BLBI senilai sekitar Rp60 triliun, lalu pada 2004-2009 menerima subsidi bunga Rp7 triliun per tahun, sehingga BCA total menerima subsidi bunga Rp42 triliun.
Obligasi rekap itu sendiri adalah surat utang yang diterbitkan pemerintah kepada bank, yang artinya negara “berutang” kepada BCA sebagai bagian dari skema penyelamatan perbankan yang dirancang atas saran Dana Moneter Internasional (IMF).
Namun, dalam kondisi sudah stabil dan menguntungkan, mayoritas saham BCA justru dijual ke swasta sebesar 51 persen dengan nilai hanya sekitar Rp5 triliun. Padahal total nilai aset BCA saat 2002 sebesar Rp 117 triliun.
Penjualan itu dilakukan tanpa melalui mekanisme tender terbuka. Bagi Kwik, tegas Hardjuno, keputusan itu bukan saja merugikan negara secara fiskal, tapi juga secara moral.
“Ini adalah ironi besar. Negara berutang kepada bank, tapi kemudian bank diserahkan kepada swasta, dan negara kehilangan kendali strategis. Semua terjadi atas tekanan IMF,” tegas Hardjuno.
Ia menambahkan, warisan intelektual Kwik terbukti relevan hari ini karena penerbitan SKL yang dulu ditentangnya, justru di kemudian hari menimbulkan banyak masalah hukum.
Beberapa obligor yang pernah menerima SKL tetap diproses hukum bertahun-tahun kemudian karena penyelesaian kewajiban mereka dipertanyakan.
Misalnya Sjamsul Nursalim, obligor Grup Gajah Tunggal, telah menerima SKL namun tetap dijadikan tersangka oleh KPK dalam kasus korupsi BLBI bersama eks Kepala BPPN Syafruddin Temenggung.
Selain itu, Marimutu Sinivasan dari Texmaco Group juga menerima SKL, namun kemudian diproses kembali oleh Kejaksaan Agung terkait kerugian negara triliunan Rupiah.
“Kwik sudah mengingatkan sejak awal bahwa SKL adalah bentuk pengampunan yang terlalu dini, tanpa akuntabilitas yang memadai. Hari ini kita lihat sendiri betapa panjang jejak masalah hukumnya,” demikian Hardjuno.
BERITA TERKAIT: