Kasus bully yang jadi sorotan menimpa remaja berinisial PMA, 15 tahun. Dalam video yang menjadi viral di media sosial tampak PMA yang betubuh ceking duduk dengan kepala menunduk di sebuah ruangan. Belasan warga dan seorang yang mengaku sebagai anggota Front Pembela Islam (FPI) mengerubunginya.
Disebutkan tujuan kedatangan mereka ke kontrakan PMA di Cipinang Muara, Jakarta Timur adalah untuk memberikan "nasihat". Namun, tak hanya nasihat yang diterima PMA. Sedikitnya dua tonjokan mengenai wajah PMA. Dua tamparan juga mendarat di pipinya. Di bagian akhir, PMA diminta membuat surat permohonan maaf karena sudah mengunggah dua foto pada 26 Mei 2017 di akun Facebook miliknya. Di foto pertama, PMA menyebut FPI sebagai "Front Pengangguran Indonesia" dan di foto lainnya menunjukkan Rizieq Shihab dan tokoh lainnya tengan bermain di Hotel Alexis. Dalam statusnya juga PMA disebut menantang umat Islam untuk berduel.
Dari peristiwa yang terjadi pada 28 Mei 2017 itu, kata persekusi, bahasa Indonesia untuk bully, makin sering terdengar di media massa. Merujuk Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) lema tersebut berarti pemburuan seenang-wenang terhadap seorang atau sejumlah warga yang kemudian disakiti, dipersusah, atau ditumpas.
Pasca aksi persekusi kepada PMA tersebut, polisi langsung menangkap dua terduga pelaku, yaitu U alias MH dan M. Keduanya dibawa ke Polda Metro Jaya dari Kepolisian Resor Jakarta Timur, Kamis (1/6) sekitar pukul 10 malam. Kasus persekusi macam di atas bukan yang pertama. Kasus serupa pernah menimpa Dokter Fiera Lovita di Solok, Sumatera Barat, setelah mengunggah komentar kritis di media sosial mengenai Rizieq Shihab yang tak kooperatif pada kepolisian.
Kapolri Jenderal Tito Karnavian mengatakan, pihaknya sudah memproses hukum sejumlah kasus persekusi. Tito berharap agar jika ada seseorang yang merasa dirugikan atas kebebasan berekspresi orang lain, agar diserahkan ke aparat penegak hukum. "Tidak boleh bermain hakim sendiri. Tidak boleh melakukan upaya sendiri yang melanggar hukum," kata Tito.
Koordinator jaringan relawan kebebasan ekspresi di Asia Tenggara (SAFEnet) Damar Juniarto mengatakan tindakan persekusi ini sudah menyebar merata di seluruh Indinesia. Menurut dia, kasus persekusi makan marak sejak Ahok dipidanakan. Sejak saat itu muncul tindakan persekusi atau pemburuan atas akun-akun yang dianggap menghina agama atau ulama di media sosial.
Persekusi ini dilakukan dalam beberapa tahap, dimulai dengan mencari orang-orang yang menghina agama atau ulama di media sosial Facebook. Kemudian, menggiring massa untuk memburu target ke kantor atau ke rumahnya dan menjeratnya dengan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik atau pasal 156a KUHP. "Kami khawatir bila aksi persekusi ini dibiarkan terus-menerus maka akan menjadi ancaman serius pada demokrasi," ujar Damar.
Eks Wakil Presiden Try Sutrisno ikutan geram. Menurut dia, jika kasus serupa dibiarkan maka negara bisa bubar. "Tindakan persekusi melanggar nilai-nilai Pancasila, harus digempur, jangan ragu-ragu. Tidak boleh bertindak seenaknya begitu, ada nilai-nilai yang harus kita tegakkan," kata Try, kemarin.
Menkominfo Rudiantara mengatakan aksi persekusi atau memburu seseorang dengan menyebarkan daftar orang yang harus diburu bisa dijerat UU ITE. Terkait banyaknya ujaran kebencian, Rudi meminta masyarakat lapor ke polisi dan tidak main hakim sendiri.
"Janganlah kita memulai, memanas-manasi, apalagi memprovokasi, kita ini butuh ketenangan masyarakat bulan puasa lagi, ngapain manas-manasi," katanya.
Di jagat Twitter, sorotan terhadap aksi main hakim sendiri itu pun menghujani lini masa. Sejumlah tokoh meminta polisi tegas dan profesional menindak kasus tersebut. Pengacara kondang Todung Mulya Lubis mengatakan aksi persekusi terhadap remaja 15 tahun adalah tindakan di luar hukum. Menurut dia, maraknya persekusi merupakan awal dari fenomena lawlessness alias tidak ada penegakan hukum.
"Persekusi adalah kudeta pekerjaan polisi uang memang secara hukum memiliki kewenangan untuk menjaga ketertiban dan tegaknya hukum," cuit @TodungLubis. Ada pun menurut akun @dulatips, menyebut fenomena saat ini sebagai mendadak anti-persekusi. Padahal sebelumnya kasus persekusi juga menimpa Wakil Ketua DPR Fahri Hamzah dan Wakil Ketua MUI Tengku Zulkarnain.
Sementara, Ketua Bantuan Hukum FPI, Sugito mengatakan, ada anggota FPI yang memilih langkah persekusi lantaran polisi dianggap lamban dalam memproses laporan. "Kalau mereka (polisi) fair dan mereka profesional terkait masalah, ya kita sepakat sekali kita akan melakukan (pelaporan)," kata Sugito, kemarin. Sementara Jubir FPI Slamet Maarif menyatakan, anggota FPI hadir di lokasi agar tak ada masyarakat yang main hakim sendiri. ***
BERITA TERKAIT: