Pengamat Anggaran Politik dan Direktur Center For Budget Analysis (CBA) Uchok Sky Khadafi mengatakan, polemik pembelian Helikopter Aagusta Westland 101 yang dilakukan oleh TNI AU, bermula dari ketidaksetujuan Panglima TNI, Gatot Nurmantyo atas munÂculnya Permenhan 28/2015, dimana kewenangan panglima TNI sudah tidak ada lagi.
"Atas polemik ini, diminta untuk segera disikapi secara terbuka ke publik kepada Ryamizard Ryacudu sebagai Menteri Pertahanan. Sikap atau penegasan secara terbuka oleh Ryamizard yang lebih detail saat ini sangat dibutuhkan publik. Karena, di Kemhan (Kementerian Pertahanan) itu, yang namanya keterbukaan sangat mahal sekali," katanya di Jakarta, kemarin.
Menurut Uchok, ada dua isu krusial yang harus dijelaskan ke publik, yakni Menteri Pertahanan Ryamizard Ryacudu disebut sudah menandatangani pembelian delapan Helikopter Agusta Westland 101.
Kedua, dalam konteks proses pengadaan atau pembelian helikopter AW 101 ini tidak melibatkan Kemhan sama sekali karena semua prosesnya dilaksanakan TNI AU dan pertimbangan internal serta tanpa memperhatikan hal-hal terkait dengan ketentuan penÂgadaan, kebijakan presiden, surat Seskab nomor B.230/sesÂkab/polhukam/4/2016 tentang prioritas penggunaan produk dalam negeri.
"Adanya dua opini ini yang saling berbenturan membuat publik bingung atas kebijakan pembelian helikopter ini," jelasnya.
Yang diketahui publik, lanjut Uchok, sesuai peraturan, sepÂerti UU nomor 3 tahun 2002 tentang pertahanan negara, UU nomor 34 tahun 2004 tenÂtang TNI, dan UU nomor 25 tahun 2004 tentang sistem perencanaan pembangunan nasional semua perencanaan dan anggaran untuk pembelian alusista adalah domain atau tanggung jawab Kemhan, buÂkan Panglima TNI.
"Jadi Menteri Pertahanan harus bicara sekarang juga," tukasnya.
Sebelumnya, Kepala Staf TNIAngkatan Udara (KSAU) Marsekal TNIHadi Tjahjanto mengatakan, pengadaan heÂlikopter Agusta Westland (AW) 101 sudah sesuai prosedur.
"Kalau perencanaannya itu yang jelas jakstra (kebijakan dan strategi) ada di Kementerian Pertahanan. Sehingga Kepala Staf sudah berkirim surat ke Kemenhan untuk proses sampai dengan kontrak. Jadi semuanya sudah dipenuhi administrasinya," katanya.
Ia mengatakan, pengadaan helikopter memang dibutuhÂkan bagi TNI Angkatan Udara mengingat helikopter angkut yang memiliki kemampuan SAR ada masih kurang. "Kita memiliki tujuh spot, Iswahyudi (Madiun); Malang, Makassar, Pekanbaru, dan Pontianak ditambah spot-spot yang lain, seperti latihan Cakra di Medan dan Halim. Berarti tujuh peÂsawat harus berada di luar," terang Hadi.
Saat ini, lanjutnya lagi, kondisinya ada Lanud yang melakukan SAR dengan menggunakan helikopter Colibri. Ini tidak mungkin dan tidak memenuhi syarat, sehinga KSAU yang lama (Marsekal Purn Agus Supriatna) berpikir kebuÂtuhan mendesak akan heli angÂkut pasukan harus diadakan.
Pembelian helikopter pun, masih menurut Hadi, berubah dari heli VVIP ke heli angÂkut yang memiliki kemamÂpuan SAR. "Itu pun masih beralasankarena dalam posÂtur TNI, kita membutuhkan empat skuadron heli angkut," pungkasnya. ***
BERITA TERKAIT: