Bulan Disiplin Jamwas Rentan Gesekan Internal

 LAPORAN: <a href='https://rmol.id/about/widian-vebriyanto-1'>WIDIAN VEBRIYANTO</a>
LAPORAN: WIDIAN VEBRIYANTO
  • Sabtu, 03 Desember 2016, 01:47 WIB
Bulan Disiplin Jamwas Rentan Gesekan Internal
Foto/Net
rmol news logo Bulan Tertib Disiplin Tahun 2016 yang digelar Jaksa Agung Muda Pengawasan (Jamwas) di bulan Desember menuai banyak kritik. Ini lantaran substansi kegiatan tersebut dianggap sebagai seremonial belaka.

Seperti para jaksa yang beragama nasrani contohnya. Mereka mengeluhkan kebijakan Jamwas, Widyopramono tersebut karena sebelum jam 07.00 dan sore hari biasanya diadakan peribadatan dan latihan koor untuk menyambut perayaan Natal di bulan Desember ini.

Tak hanya itu. Setiap pagi setidaknya ada antrian panjang ratusan orang yang terdiri dari para jaksa maupun pegawai Kejaksaan Agung. Ini karena batas waktu absensi hanya 30 menit saja, yakni mulai pukul 07.00 hingga 07.30. Sementara jaksa atau pegawai yang ingin beribadah pagi dan yang ingin bersidang di beberapa lokasi di Jakarta, merasa kebijakan tersebut sangat membatasi aktifitas kerja mereka.

Pengamat Kebijakan Publik dari Indonesia Justice Watch (IJW) Fajar Trio Winarko berpendapat, kebijakan tersebut rentan terjadi gesekan di internal kejaksaan.
"Desember kan bulan suci peribadatan umat nasrani, dikhawatirkan timbul gesekan internal apalagi saat ini masyarakat Indonesia sedang sangat sensitif terhadap isu agama, Jamwas seharusnya memahami itu. Aneh, Kejaksaan kan biasanya menyelenggarakan pekan disiplin di pertengahan tahun!" kata Fajar.

Fajar menambahkan, implementasi disiplin yang dipergunakan Bidang Pengawasan tersebut masih sangat konvensional dan tidak produktif. Padahal, lanjutnya, era Pemerintahan Joko Widodo menginginkan kedisiplinan pegawai itu lebih mengarah pada peningkatan kualitas kinerja, inovasi dan etos kerja yang profesional.

"Bulan Disiplin versi Jamwas merupakan pemikiran pemimpin klasik, mendefinisikan disiplin itu secara sempit. yakni identik dengan datang dan pulang kantor tepat pada waktunya. Padahal sejatinya disiplin kerja diartikan sebagai suatu sikap, tingkah laku, dan perbuatan yang sesuai aturan dalam bentuk tertulis maupun tidak, serta berorientasi pada hasil," ungkap Fajar.

Untuk itu, lanjutnya, tidak ada jaminan jika Bulan Disiplin versi Kejaksaan Agung dapat mengubah mindset dan culture-set pegawai kejaksaan sesuai amanah Nawa Cita.

"Yang menjadi pertanyaan sekarang, apakah para pimpinan di Kejagung sudah melakukan kedisiplinan dalam kinerjanya sebagai abdi Negara karena keberhasilan perubahan etos kerja pegawai harus dimulai dari pimpinannya!" tukasnya.

Sementara itu, pengamat komunikasi politik Universitas Pelita Harapan, Emrus Sihombing, menyatakan disiplin absensi pegawai kejaksaan bukan solusi yang baik untuk peningkatan etos kerja. Menurutnya, seharusnya Bulan Disiplin lebih mengarah pada peningkatan kualitas pelayanan publik sebagaimana diharapkan masyarakat.

"Kalau hanya terkait absensi ini subtansinya sangat kecil. Pembenahan terbesar yang harus dilakukan adalah bagaimana meningkatkan kualitas pelayanan publik. Contoh terkecil, kejaksaan harus bisa mengubah kebiasaan komunikasinya dengan ramah dan penuh sense of hospitality” sehingga masyarakat merasa sangat terbantu, itu sudah bagian dari kedisiplinan kerja," kata Emrus.

Ketika ditanya apakah Bulan Disiplin ini bagian dari pengalihan isu tudingan Jamwas yang diduga plagiat buku almarhum Marwan Effendy, Emrus mengatakan hal tersebut patut pula diselidiki.

"Ini menarik, jika benar ada isu plagiarisme tersebut, maka harus dibuktikan melalui 'content analysis'. Karena plagiarisme dapat mencoreng integritas kinerja aparat penegak hukum. Masa orang hukum tidak mengerti UU Hak Cipta," pungkasnya. [ian]

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

FOLLOW US

ARTIKEL LAINNYA