Berdasarkan pantauan Indonesia Corruption Watch (ICW), rata-rata putusan pidana penjara bagi koruptor pada 2014 sekitar dua tahun 11 bulan, dan pada 2015 dua tahun dua bulan penjara.
"Dapat dikatakan belum menjerakan dan belum berpihak terhadap semangat pemberantasan korupsi yang berupaya menghukum koruptor dengan seberat-beratnya," ujar peneliti ICW Aradila Caesar kepada redaksi di Jakarta, Senin (8/2).
Menurutnya, putusan tersebut masih masuk kategori ringan yakni antara di bawah satu tahun hingga empat tahun, putusan yang tidak akan membuat jera para terdakwa dengan maksimal. Sebab, di masa mendatang dimungkinkan mendapatkan remisi atau pembebasan bersayarat.
Di sisi lain, yang patut dicermati adalah kinerja kejaksaan dalam menuntut perkara korupsi, sebab hampir keseluruhan perkara yang dituntut kejaksaan seringkali menggunakan jenis dakwaan subsidaritas. Sehingga mayoritas yang terbukti di pengadilan adalah penggunaan pasal 3 dan pasal 2 Undang-Undang Tipikor.
"Dalam catatan ICW sebanyak 294 terdakwa dijerat pasal 3, sebanyak 97 terdakwa dijerat dengan pasal 2, dan 85 terdakwa tidak bisa diidentifikasi pasal yang terbukti di pengadilan," terang Aradila.
ICW mendorong agar para koruptor divonis berat oleh pengadilan. Namun, hal itu masih terganjal lantaran ditenggarai ada kekeliruan dalam kontruksi pasal 2 dan pasal 3. Sebab, kekeliruan itu berimplikasi pada rendahnya hukuman terhadap terdakwa kasus korupsi. Ardila menyarankan pemerintah disarankan segera merevisi UU tersebut.
"Di pasal 3 untuk pejabat publik hanya dihukum minimal satu tahun, sementara di pasal 2 yang biasanya swasta hukuman minimalnya empat tahun," beber Aradila.
Karenanya, undang-undang tersebut harus diubah konstruksi hukumnya. Sebab, semestinya pejabat publik yang menyalahgunakan wewenang mendapat hukuman lebih berat dari pihak swasta. Terlebih, penyelenggara negara atau pejabat publik memiliki beban lebih besar karena sebagai panutan dan dipilih oleh masyarakat. Belum lagi tren vonis ringan terhadap pelaku korupsi tiap tahunnya terus meningkat.
"Supaya lebih menaikkan ancaman hukumannya. Pidana ringan tidak tepat untuk kasus korupsi dan melibatkan pejabat publik. Jadi tidak ada lagi putusan tipikor yang masuk kategori ringan," pungkas Aradila.
[wah]
BERITA TERKAIT: