Angkasa Pura II: Mungkin Sopir-sopir Taksi Gelap Sudah Kelewat Batas

 LAPORAN: <a href='https://rmol.id/about/'></a>
LAPORAN:
  • Kamis, 23 Juli 2015, 16:39 WIB
rmol news logo Pihak Angkasa Pura II (Persero) mempersilakan jika 29 sopir taksi gelap ingin menempuh jalur hukum atas insiden yang terjadi saat jelang hari raya Idul Fitri, Jumat (17/7) dinihari lalu.  

"Kami tidak bisa menghalangi orang-orang menuntut atau tidak menuntut, itu hak hukum yang melekat pada tiap warga negara," tegas  Head of Corporate Strategy & Legal AP II (Persero), Agus Haryadi saat berbincang dengan Kantor Berita Politik RMOL, sesaat lalu (Kamis, 23/7).

Agus menceritakan, pihaknya sudah berupaya untuk mediasi saat pertemuan dengan Polisi Militer Angkatan Laut (Pomal).

"Jadi waktu itu saya yang diutus. Cuma mereka (para sopir taksi gelap) tidak bersedia berbicara dengan saya, mereka maunya bicara dengan direksi," ulas Agus.

Agus sendiri mengaku tidak melihat langsung kejadiannya karena sedang fokus menangani evakuasi ribuan penumpang yang terdampak erupsi Gunung Raung. Saat itu beberapa bandara terpaksa ditutup sementara. Namun dari laporan yang diterimanya, insiden itu tidak serta merta meletup.

"Katanya sudah ada pendahuluan, upaya-upaya provokatif dalam intens yang lebih kecil," ucapnya lanjut.

Para penumpang yang hendak keluar bandara seringkali dihadang para sopir taksi gelap, tak jarang sampai dipaksa menggunakan jasa mereka.

Informasi yang dihimpun redaksi, tindakan meresahkan itu sempat mencuat pada malam takbiran (Jumat, 17/7), ketika seorang warga negara asing (WNA) dipaksa naik mobilnya di Terminal 2D Bandara Soekarno-Hatta. Mengetahui kejadian itu, personel marinir yang tengah berjaga di sana pun menegur, tapi tidak diindahkan sopir bersangkutan. Buntut dari peristiwa tersebut, sebanyak 29 sopir taksi gelap dibawa ke tempat Pertolongan Kecelakaan Penerbangan dan Pemadam Kebakaran (PKP-PK) Bandara Soekarno-Hatta.  

Di situ, mereka dihukum squat jump sampai push up. Setelah itu, mereka diminta membuat surat pernyataan tidak akan beroperasi lagi dan bersedia menerima hukuman yang lebih berat jika ketahuan oleh petugas.

"Mungkin tekanan psikologi, tentara juga manusia sehingga kemudian diprovokasi, yang mungkin mereka (para sopir taksi gelap) sudah kelewat batas. ya mereka (marinir) akhirnya terpancing," tengarai Agus.

Agus lebih lanjut menerangkan, ada tiga hal pokok yang jadi prioritas AP II berdasarkan rekomendasi dari Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI). Pertama, sebut Agus, akses transportasi ke bandara yang dikeluhkan sering macet, terutama pada hari-hari tertentu seperti Minggu atau weeked. Kedua, keamanan bagasi yang semestinya menjadi kewenangan masing-masing maskapai yang digunakan penumpang bersangkutan. Dan ketiga, sopir taksi gelap.

"Kalau taksi gelap memang ini murni wilayahnya AP 2. Kita harus paham dulu, YLKI representatif publik, bahwa mereka menginginkan bandara yang bersih, nyaman, dan tidak terkesan terminal bus," ujarnya.

Sehingga, jelas Agus, dalam kapasitas AP 2 sebagai pengelola bandara Soetta, tentu ingin berpihak pada keinginan publik. Berkaitan pelayanan publik inilah dilakukan penertiban terhadap taksi-taksi gelap, khususnya yang beroperasi di Bandara Soetta. Memang, pasti ada gesekan.

"Pertanyaannya di balik dulu mereka berusaha secara ilegal, itu dibenarkan enggak? Kalau ada orang berdagang di perkarangan anda dibilangin nggak mau, anda mau ngapain," tekannya.

Namun kembali Agus menandaskan bahwa pihaknya tidak khawatir dengan tuntutan hukum yang akan diajukan para sopir taksi gelap. Terlebih mengingat tugas personel Marinir saat itu adalah membantu Avsec menegakkan peraturan di wilayah bandara, termasuk menindak tegas sopir-sopir taksi gelap.[wid]

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

FOLLOW US

ARTIKEL LAINNYA