Berikut tiga cacat yang diutarakan analis politik, Ray Rangkuti, kepada wartawan lewat pesan elektronik, Jumat (21/11).
Cacat pertama, proses pemilihan Jaksa Agung dilakukan dengan cara tertutup. Tanpa ada semacam pemberitahuan di awalnya tentang nama-nama yang dinominasikan oleh Presiden sebagai calon Jaksa Agung.
"Efek pertama mengakibatkan cacat yang kedua. Yakni, proses yang tidak transparan dengan sendirinya mengabaikan partisipasi masyarakat," jelasnya.
Menurut Ray, sama sekali tak pernah diungkapkan siapa saja bakal calon Jaksa Agung. Dengan sendirinya masyarakat tidak pernah membuat semacam penilaian rekam jejak. Apakah calon-calon yang dimaksud tepat, kredibel, punya keberanian, jujur dan bersih, serta punya prestasi untuk membongkar bobrok dalam tubuh Kejaksaan Agung.
Masih kata dia, Kejaksaan Agung masuk dalam tiga lembaga yang masih jauh dari pembenahan reformasi, selain birokrasi dan kepolisian. Kini, bayangan akan buramnya pembenahan kejaksaan makin kuat dengan pemilihan Prasetyo sebagai Jaksa Agung.
"Dan ini cacat ketiga. Pribadi HM Prasetyo bukan figur menonjol di lingkungan kejaksaan. Masa baktinya sebgai Jampidsum tak menorehkan prestasi apapun. Tak ada kasus besar diungkap," tegas Ray.
Lebih dari itu, pemikirannya tentang reformasi kejaksaan juga tak terdengar sama sekali. Selain tak berprestasi, Prasetyo juga merupakan kader partai politik. Tentu hal ini seperti menyepelekan semangat Jokowi sendiri yang ingin menegakkan pemerintahan yang jauh dari tekanan dan kepentingan parpol.
Ray menilai, Jokowi terlihat, hari demi hari, makin dalam masuk ke cengkeraman parpol. Situasi ini tentu tak akan terjadi jika Jokowi sendiri mampu menahan diri, dan selalu membentengi dirinya dengan semangat awal keinginannya menjadi presiden.
"Sayang, Jokowi sendiri seperti membuka dirinya untuk diintervensi (parpol). Itulah yang terlihat dari pembentukan kabinet, dan sekarang Jaksa Agung," tambahnya.
[ald]
BERITA TERKAIT: