KPK Terus Pertajam Dugaan Gratifikasi BCA ke Eks Dirjen Pajak

 LAPORAN: <a href='https://rmol.id/about/'></a>
LAPORAN:
  • Sabtu, 18 Oktober 2014, 14:33 WIB
KPK Terus Pertajam Dugaan Gratifikasi BCA ke Eks Dirjen Pajak
ilustrasi/net
rmol news logo Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terus mendalami dugaan keterlibatan sejumlah petinggi Bank Central Asia (BCA) dalam kasus korupsi permohonan keberatan wajib pajak yang diajukan bank tersebut.

Kepada wartawan (Sabtu, 18/10), Ketua KPK, Abraham Samad,  menyatakan, penanganan dugaan gratifikasi pihak BCA ke mantan Direktur Jenderal Pajak, Hadi Poernomo, terkait dikabulkannya keberatan pajak bank tersebut juga masih dipertajam.

Meski demikian, Abraham enggan membeberkan lebih lanjut saat ditanyakan tentang gratifikasi apa yang diduga diberikan bank tersebut kepada Hadi Poernomo semasa menjabat Dirjen Pajak.

Sebelumnya, Wakil Ketua KPK, Adnan Pandu Praja, mengungkapkan bahwa BCA diuntungkan dari keputusan penerimaan keberatan pajak yang dibuat oleh Hadi Poernomo saat menjabat sebagai pemimpin Dirjen Pajak. Keuntungan BCA itu ditenggarai merugikan negara lantaran kehilangan pajak penghasilan dari koreksi penghasilan bank tersebut.

"Kan yang pasti dia membuat suatu SK, yang melanggar prosedur itu. Kemudian yang diuntungkan pihak lain," kata Adnan Pandu Praja, Kamis (28/8).

Sebab itu, Adnan berjanji KPK akan menelisik lebih lanjut. Bahkan, KPK tak segan menjerat BCA dari segi koorporasi.

Kasus pajak BCA itu terjadi tahun 1999 lampau. Adnan enggan berspekulasi saat disinggung keputusan Hadi terhadap Pajak BCA tanpa adanya "pelicin". Namun, ditekankan Adnan, pihaknya terus menelusuri dugaan tersebut.

KPK telah lama meningkatkan kasus dugaan korupsi terkait permohonan keberatan wajib pajak yang diajukan BCA menjadi penyidikan. Seiring peningkatan kasus tersebut, KPK menetapkan Ketua Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), Hadi Purnomo, yang pernah menjabat sebagai Direktur Jenderal Pajak sebagai tersangka.

Diduga perbuatan Hadi merugikan negara sekitar Rp 375 miliar. Atas perbuatan itu, Hadi disangkakan melanggar Pasal 2 ayat 1 dan atau Pasal 3 UU 31/1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan UU 20/2001 juncto Pasal 55 Ayat 1 ke-1 KUHPidana.

Diketahui dalam kasus itu, Direktorat Pajak Penghasilan (PPh) pernah mengusut dugaan pengemplangan pajak yang diduga dilakukan BCA. Sumihar Petrus Tambunan selaku Direktur Pajak Penghasilan pada 2003 lalu yang langsung mempelajari dokumen-dokumen yang disertakan BCA sebagai bukti pengajuan keberatan pajak.

Direktorat PPh setahun kemudian merampungkan kajiannya. Berdasarkan kajian tersebut, Direktorat PPh membuat risalah atas surat keberatan pajak BCA pada 13 Maret 2004. Isi risalah itu secara garis besar menyebutkan sebaiknya Dirjen Pajak menolak permohonan keberatan pajak BCA. BCA diwajibkan melunasi tagihan pembayaran pajak tahun 1999 sebesar Rp 5,77 triliun. Untuk pelunasannya, BCA diberi tenggat hingga 18 Juni 2004.

Dokumen risalah tadi selanjutnya diserahkan ke meja Dirjen Pajak yang kala itu dijabat Hadi Poernomo. Sehari sebelum tenggat BCA membayar tagihan pajaknya (17 Juli 2004), Hadi menandatangani nota dinas Dirjen Pajak yang ditujukan kepada bawahannya, Direktur PPh. Isi nota dinas ini bertolak belakang dari risalah yang dibuat Direktur PPh. Hadi justru mengintruksikan kepada Direktur PPh agar mengubah kesimpulan risalah yang awalnya menolak menjadi menyetujui keberatan.

Pada kasus itu, Direktorat PPH di Direktorat Jenderal Pajak menangani kasus dugaan pengemplangan pajak. Direktorat PPH pun sempat menolak keberatan pajak yang diajukan Bank Central Asia. Belakangan, keputusan itu dianulir Hadi Poernomo lewat nota dinas yang dikeluarkannya. Negara kehilangan pajak penghasilan dari koreksi penghasilan BCA sebesar Rp 375 miliar karena pembatalan tersebut. [ald]

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

FOLLOW US

ARTIKEL LAINNYA