Masalah internal yang merusak citra Polri itu justru sudah terjadi di awal kepemimpinan Dwipriyanto. Yaitu usai serah terima jabatannya sebagai kapolda terjadi aksi brutal, Brigadir Susanto menembak mati atasannya Kepala Denam Polda Metro Jaya AKBP Pamudji pada 18 Maret 2014. Belum usai kehebohan ini pada 14 April 2014 terjadi operasi tangkap tangan di Ditlantas Polda Metro Jaya. Uang suap Rp 350 juta disita. Akibatnya terjadi bedol desa, sejumlah pejabat Ditlantas Polda Metro Jaya dimutasi dan "masuk kotak".
Indonesian Police Watch (IPW) mencatat, selama kepemimpinan Dwipriyanto terjadi dua peristiwa tahanan bunuh diri di kantor polisi. Selain itu aksi kejahatan bersenjata api juga masih menjadi sebuah ancaman di Jakarta.
"Jika melihat kinerja 50 hari kepemimpinannya, IPW pesimis Dwipriyanto akan mampu mengungkap sejumlah kasus penembakan terhadap polisi yang terjadi di era Kapolda Putut," kata Ketua Presidium IPW, Neta S Pane dalam keterangannya, Minggu (11/5).
Masalah pelik yang belum tertangani adalah kemacetan lalulintas Jakarta. Polda Metro Jaya perlu membuat konsep jangka pendek yang komperhensif dalam mengatasi kemacetan lalulintas dan aksi-aksi perampokan yang marak belakangan ini, terutama perampok bersenjata api yang membunuh korban maupun saksinya. Jika tidak segera diatasi dikhawatirkan aksi bersenjata api ini akan menjadi ancaman bagi pelaksanaan Pilpres 2014.
Ke depan, kata Neta, Polda Metro Jaya, perlu memaksimalkan polsek sebagai ujung tombak penjaga keamanan masyarakat, dengan cara melakukan patroli rutin di daerah-daerah rawan dan strategis. Untuk itu Polri harus melengkapi polsek-polsek dengan mobil dan motor patroli serta fasilitas lain.
"Selain itu mobil-mobil patroli yang nongkrong 24 jam di depan Kedubes-kedubes dan rumah-rumah diplomat harus segera digerakkan agar mobilitasnya makin tinggi. Sebab tugas Polda Metro Jaya adalah menjaga keamanan seluruh masyarakat dan bukan hanya menjaga keamanan orang-rang tertentu," demikian Neta S Pane.
[rus]
BERITA TERKAIT: