"Putusan MK yang membatalkan Perppu tentang MK sah secara hukum, tetapi tidak punya legitimasi dari sisi pembuatan kebijakan publik," kata pengamat politik dan kebijakan publik, Andrinof A. Chaniago, kepada wartawan, Jumat (14/2).
Kewenangan membuat UU, mengubah atau tidak mengubah UU yang dimiliki DPR RI dan MK semestinya harus dikecualikan apabila UU yang akan dibuat atau diubah adalah UU yang mengatur lembaga tersebut atau pihak yang berada di belakang lembaga tersebut, seperti partai politik.
"Tidak logis apabila pihak yang akan diatur oleh suatu UU memiliki hak dan kewenangan untuk membuat atau mengubah atau tidak mengubah UU tersebut," tegasnya.
Dengan keputusan MK kemarin, maka substansi UU 4/2014 yang menyangkut persyaratan calon hakim konstitusi, pembentukan panel ahli dan Majelis Kehormatan Hakim Konstitusi (MKHK) menjadi tidak ada lagi. Padahal, aturan tersebut dibuat agar kasus dugaan korupsi yang melibatkan Ketua MK saat itu, Akil Mochtar, tak terulang.
MK menolak campur tangan Komisi Yudisial terkait aturan pengangkatan hakim konstitusi. MK berpendapat bahwa UUD 1945 sudah mengatur materi itu dalam pasal 24C Ayat (3). Dalam pasal tersebut, sembilan hakim konstitusi berasal dari Presiden, Dewan Perwakilan Rakyat, dan Mahkamah Agung.
Terkait calon hakim konstitusi tidak boleh menjadi anggota partai politik minimal tujuh tahun sebelum diajukan, Mahkamah berpendapat ayat tersebut dibuat berdasarkan stigma yang timbul dari masyarakat. Stigmatisasi seperti ini dinilai menciderai hak-hak konstitusional seorang warga negara yang haknya dijamin oleh UUD 1945.
[ald]
BERITA TERKAIT: