Duterte, yang memimpin Filipina dari 2016 hingga 2022, menghadapi tuduhan kejahatan terhadap kemanusiaan terkait perang narkoba yang menewaskan ribuan orang.
Dalam pernyataannya sebelum keberangkatan, Sara Duterte mengecam tindakan ICC dan menyebutnya sebagai "penindasan dan penganiayaan."
"Ini adalah penghinaan terang-terangan terhadap kedaulatan kami dan penghinaan terhadap setiap orang Filipina yang percaya pada kemerdekaan negara kami," kata Sara dalam pernyataan resmi, seperti dimuat
Al Jazeera pada Rabu, 12 Maret 2025.
Sara dijadwalkan bertemu dengan tim hukum untuk mengatur pembelaan ayahnya di pengadilan internasional tersebut.
Sementara itu, Presiden Filipina Ferdinand Marcos Jrnmembela keputusan pemerintahnya yang memfasilitasi penangkapan dan pemindahan Duterte ke ICC.
"Hal ini sesuai dengan komitmen kami kepada Interpol,"ujar Marcos Jr dalam konferensi persnya.
Namun, langkah ini memicu perdebatan politik di dalam negeri. Veronica Duterte, putri bungsu Rodrigo Duterte, berencana mengajukan habeas corpus ke Mahkamah Agung Filipina untuk memaksa pemerintah membawa kembali ayahnya.
Mantan Menteri Tenaga Kerja Silvestre Bello, yang kini menjadi bagian dari tim pembela Duterte, mengatakan bahwa mereka sedang menilai semua opsi hukum yang tersedia.
"Hal pertama yang akan kami lakukan adalah mencari tahu ke mana tepatnya mantan presiden akan dibawa, jadi kami tahu ke mana kami harus pergi, karena dia akan membutuhkan bantuan hukum," kata Bello.
Di Kota Quezon, ratusan orang menyalakan lilin sebagai simbol perlawanan terhadap kebijakan keras Duterte dalam perang narkoba. Sebagian besar dari mereka adalah keluarga korban yang tewas dalam operasi kepolisian selama masa pemerintahannya.
Sementara itu, kelompok pendukung Duterte mengecam ICC dan menyebutnya sebagai intervensi asing yang tidak menghormati kedaulatan Filipina.
Rodrigo Duterte mencalonkan diri sebagai presiden pada 2016 dengan janji utama memerangi kejahatan dan narkoba.
Ia mendorong polisi untuk menggunakan kekuatan mematikan terhadap tersangka, yang mengakibatkan lebih dari 7.000 kematian dalam operasi resmi.
ICC mulai menyelidiki dugaan kejahatan terhadap kemanusiaan pada 2018, tetapi Duterte selalu menolak yurisdiksi pengadilan tersebut. Kini, sebagai mantan kepala negara, ia menjadi pemimpin Asia pertama yang ditangkap dan diadili di Den Haag.
Perkembangan kasus ini akan terus dipantau, dengan pertanyaan besar apakah Duterte akan diadili di ICC atau ada langkah hukum lain yang bisa menghentikan proses tersebut.
BERITA TERKAIT: