Hal itu diungkap oleh Direktur Perlindungan WNI Kementerian Luar Negeri RI, Judha Nugraha saat jumpa pers di Jakarta pada Jumat (4/10).
Judha menjelaskan bahwa evakuasi bersifat tawaran atau anjuran dan tidak memaksa. Tetapi mengingat status di Lebanon sudah Siaga I, kementerian sangat mendorong agar WNI ikut dalam proses evakuasi tersebut sebelum kondisi semakin memburuk.
"Keputusan evakuasi itu harus dilakukan sekarang. Jangan menunggu situasi keos. Kalau situasi memburuk, kapasitas kita mengevakuasi akan semakin sulit," imbau Judha.
Sejak evakuasi dimulai pertengahan Agustus lalu, hingga kini hanya 65 WNI yang bersedia dan telah dievakuasi. Sementara 116 lainnya memutuskan untuk tetap di Lebanon mereka terdiri dari mahasiswa, pekerja migran, dan WNI yang menikah dengan warga setempat.
"Mereka tersebar di Beirut (83 orang), Baabda (4), Bekaa (5), Byblos (3), Tripoli (13), Akkar (4), Tyre (3), dan Saida (1)," paparnya.
Menurut penuturan Judha, alasan banyak mahasiswa yang menolak dievakuasi adalah karena pihak kampus belum menetapkan situasi darurat di sana, sehingga mereka khawatir dikeluarkan karena tidak masuk kuliah.
"Kampus belum mengumumkan status darurat, mereka khawatir dinyatakan putus sekolah," ujar Judha sambil menjelaskan bahwa kondisi yang sama juga dirasakan oleh para pekerja migran Indonesia yang khawatir dipecat dari pekerjaan mereka di Lebanon.
Selain itu, Judha juga mengungkap bahwa pihak KBRI Beirut kesulitan mengevakuasi beberapa WNI yang ternyata datang ke Lebanon tanpa dokumen yang sah.
"Kalau kita melakukan evakuasi kita akan melewati cek point imigrasi. Para WNI yang tidak berdokumen, membuat kami kesulitan karena prosesnya sangat memakan waktu. Tapi pada akhirnya mereka berhasil dievakuasi," pungkasnya.
BERITA TERKAIT: