Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

UU Keamanan Nasional Mengubah Demokrasi dan Bisnis Hong Kong

 LAPORAN: <a href='https://rmol.id/about/jonris-purba-1'>JONRIS PURBA</a>
LAPORAN: JONRIS PURBA
  • Senin, 03 Juni 2024, 11:30 WIB
UU Keamanan Nasional Mengubah Demokrasi dan Bisnis Hong Kong
Ilustrasi
rmol news logo Penangkapan enam orang, termasuk seorang wanita, berdasarkan UU Keamanan Nasional telah mengejutkan masyarakat di Hong Kong dan di seluruh dunia. Keenam orang itu dituduh menggunakan Facebook untuk mempublikasikan postingan secara anonim mulai bulan April.

Postingan mereka dinilai memicu kebencian terhadap pemerintah pusat, pemerintah Hong Kong, dan lembaga peradilan kota tersebut, dan bertujuan untuk menghasut netizen untuk mengatur atau berpartisipasi dalam kegiatan ilegal di kemudian hari.

Penangkapan tersebut menandai pertama kalinya UU Keamanan Nasional diberlakukan sejak undang-undang tersebut disahkan dengan suara bulat oleh badan legislatif kota yang bebas oposisi pada bulan Maret.

Hong Kong, yang dulunya menggunakan bahasa Inggris sebagai bahasa dominan dalam bidang bisnis dan pendidikan, telah mengalami pergeseran ke arah bahasa Mandarin di Tiongkok daratan. Hal ini mencerminkan kecenderungan Hong Kong untuk lebih menyelaraskan diri dengan Tiongkok daratan.

Undang-undang ini merupakan tambahan dari undang-undang keamanan nasional yang sudah kuat yang diberlakukan secara langsung oleh Beijing di Hong Kong pada tahun 2020 setelah protes pro-demokrasi yang besar dan terkadang disertai kekerasan pada tahun sebelumnya.

Perkembangan ini menyoroti transformasi radikal di Hong Kong sejak diberlakukannya Undang-Undang Keamanan Nasional pada Juni 2020. Hong Kong tidak lagi digambarkan sebagai benteng demokrasi dan pusat keuangan global.

Undang-Undang Keamanan Nasional yang diperkenalkan oleh Beijing telah mengubah secara mendasar lanskap politik dan sosial kota tersebut, mendorongnya menuju sistem yang semakin otokratis.

Undang-undang tersebut, yang dimaksudkan untuk meredam perbedaan pendapat dan mengamankan kendali Beijing, telah berdampak besar pada dunia usaha, kebebasan berpendapat, dan tatanan budaya Hong Kong.

Undang-undang Keamanan Nasional yanag diberlakukan pada bulan Juni 2020 merupakan tanggapan Beijing terhadap protes besar-besaran pro-demokrasi yang meletus di Hong Kong pada tahun 2019.

Manoj Ghimire dari Khabarhub menuliskan, undang-undang ini dinilai mengkriminalisasi tindakan pemisahan diri, subversi, terorisme, dan kolusi dengan kekuatan asing dan memberikan kewenangan luas kepada otoritas Hong Kong serta memungkinkan Beijing untuk mendirikan kantor keamanan di kota tersebut, mengawasi pelaksanaannya.

“Undang-undang ini menandai dimulainya era baru di mana batas antara Hong Kong dan Tiongkok daratan menjadi kabur secara signifikan,” tulisnya lagi.

Penangkapan enam orang karena diduga menerbitkan materi hasutan di media sosial, yang dilakukan berdasarkan Pasal 23 undang-undang keamanan, menunjukkan sejauh mana undang-undang tersebut dapat digunakan untuk menekan kebebasan berpendapat dan mengintimidasi aktivis di Hong Kong.

Selain itu, bisnis asing yang beroperasi di Hong Kong semakin merasakan panasnya lingkungan politik yang semakin tidak bersahabat, sehingga memaksa banyak perusahaan untuk mematuhi perintah Beijing atau keluar dari pasar.

Dalam bagian lain, Manoj Ghimire mengatakan dua firma hukum internasional, Winston & Strawn dan Addleshaw Goddard, baru-baru ini menutup kantor mereka di Hong Kong. Dana pensiun Amerika, yang dahulu menganggap Hong Kong sebagai tujuan investasi utama, kini menjauhi kota tersebut.

Langkah-langkah otokratis yang diberlakukan atas nama keamanan nasional mengusir bisnis asing dan mengikis kebebasan yang merupakan bagian integral dari identitas kota tersebut. Hong Kong berada di jalur kehancuran, kata para ahli.

Hong Kong, yang dulunya menggunakan bahasa Inggris sebagai bahasa dominan dalam bidang bisnis dan pendidikan, telah mengalami pergeseran ke arah bahasa Mandarin di Tiongkok daratan. Hal ini mencerminkan kecenderungan Hong Kong untuk lebih menyelaraskan diri dengan Tiongkok daratan.

Pergeseran politik dan budaya mempunyai dampak ekonomi yang nyata. Jumlah lowongan kantor telah meningkat, mencapai rekor 16,3 persen pada bulan Maret, meskipun ada sedikit perbaikan sejak saat itu.

Perusahaan-perusahaan asing mulai mengosongkan kantornya, dan meskipun perusahaan-perusahaan Tiongkok mulai melakukan inspeksi terhadap ruang-ruang kantor, mereka belum menandatangani perjanjian sewa dalam jumlah yang signifikan.

Para ahli mengatakan bahwa penerapan Undang-Undang Keamanan Nasional dan langkah-langkah legislatif selanjutnya telah membayangi masa depan Hong Kong sebagai pusat keuangan global.

Kota ini, yang dikenal sebagai kota yang bebas, terbuka, dan ramah bisnis, telah terkikis dengan cepat. Para investor menjadi berhati-hati, dan sanksi AS terhadap perusahaan-perusahaan Tiongkok yang memiliki hubungan dengan pemerintah telah mempersulit investasi di banyak perusahaan publik di Hong Kong. perusahaan yang diperdagangkan.

Tokoh terkemuka seperti Stephen Roach, mantan ketua Morgan Stanley Asia, telah secara terbuka menyatakan era Hong Kong sebagai pusat keuangan utama telah berakhir.

Roach, setelah menerbitkan opini kritis, mendapati dirinya dilarang berbicara di konferensi ekonomi penting, sebuah contoh nyata bagaimana perbedaan pendapat dibungkam secara sistematis.

Ketika Hong Kong terus berintegrasi lebih erat dengan Tiongkok daratan, Hong Kong berisiko kehilangan karakteristik unik yang pernah membedakannya.

Langkah-langkah otokratis yang diberlakukan atas nama keamanan nasional mengusir bisnis asing dan mengikis kebebasan yang merupakan bagian integral dari identitas kota tersebut. Hong Kong berada di jalur kehancuran, kata para ahli. rmol news logo article
EDITOR: JONRIS PURBA

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA