Juru bicara kelompok hak asasi tersebut, Romdhane Ben Amor, menuduh Saied melakukan rasisme dan ujaran kebencian.
"Kami merasa malu dengan pidato Presiden. Kami merasa tidak puas dengan kata-kata yang digunakan (dalam pidatonya) yang menstigmatisasi dan mendiskriminasi migran sub-Sahara," kata Amor, seperti dikutip dari
Africa News, Kamis (23/2).
Pekan lalu, 23 kelompok HAM mengatakan negara mulai menindak imigran dari Afrika sub-Sahara sambil menutup mata terhadap ujaran kebencian rasis .
“Presiden republik harus memikul tanggung jawab dan negara Tunisia harus memenuhi komitmennya sehubungan dengan perjanjian hak asasi internasional," kata Amor.
Ia juga menyerukan segera diakhirinya kampanye sistematis melawan migran sub-Sahara dan membebaskan mereka yang ditahan. Menururnya, Presiden harus meluncurkan proses administrasi menyeluruh bagi migran ilegal sub-Sahara.
Presiden Saied dalam komentar kepada Dewan Keamanan Nasional pada Selasa (21/2) yang diterbitkan secara online oleh kepresidenan, menyerukan langkah-langkah mendesak untuk menghentikan kedatangan gerombolan imigran ilegal dari Afrika sub-Sahara, dengan menyebut bahwa para migran itu membawa "kekerasan, kejahatan, dan praktik yang tidak dapat diterima."
Imigran, katanya, adalah bagian dari plot kriminal yang dimaksudkan untuk mengubah struktur demografis Tunisia.
"Tujuan gelombang imigrasi ilegal berturut-turut yang tidak diumumkan adalah menganggap Tunisia sebagai negara murni Afrika yang tidak memiliki afiliasi dengan negara-negara Arab dan Islam," kata Saied
Tunisia merupakan titik keberangkatan utama bagi para imigran Afrika yang ingin mencapai Eropa melalui apa yang dikatakan PBB sebagai rute migrasi paling mematikan di dunia.
Menurut angka resmi Italia, lebih dari 32.000 migran, termasuk 18.000 warga Tunisia, berusaha menyeberang dari Tunisia ke Italia tahun lalu.
BERITA TERKAIT: