Pada Rabu (6/10), Pengadilan Magistrat Israel memutuskan bahwa kegiatan ibadah jamaah Yahudi di situs tersebut bukan sebuah tindakan kriminal. Keputusan itu artinya menentang kesepakatan lama yang dibuat, yang menyatakan bahwa umat Islam beribadah di Al Aqsa, sementara Yahudi di Tembok Barat.
Proses di pengadilan sendiri dilakukan setelah seorang pemukim Yahudi, Rabi Aryeh Lippo mengajukan gugatan untuk mencabut larangan beribadah di kompleks Masjid Al Aqsa.
Menanggapi keputusan itu, Perdana Menteri Palestina Mohammad Ibrahim Shtayyeh telah meminta Amerika Serikat untuk memenuhi janjinya untuk mempertahankan status quo kompleks tersebut, dan bagi negara-negara Arab untuk berdiri dalam solidaritas dengan Palestina.
"Kami memperingatkan terhadap upaya Israel untuk memaksakan realitas baru di Masjid Suci Al-Aqsa," kata Shtayyeh pada Kamis (7/10), seperti dikutip
Al Jazeera.
Yordania, yang didaulat sebagai penjaga Al-Aqsa diakui dalam perjanjian damai 1994 antara Amman dan Tel Aviv, menyebut keputusan itu sebagai pelanggaran serius terhadap status historis dan hukum Masjid Al-Aqsa.
Seorang pengacara ahli di Yerusalem, Khaled Zabarqa, menegaskan sistem peradilan Israel tidak memiliki yurisdiksi hukum untuk mengatur kesucian Masjid Al-Aqsa dan untuk mengubah status quo.
"Dari sudut pandang hukum, keputusan itu batal," tekannya.
Dalam beberapa waktu terakhir, bentrokan di kompleks Masjid Al Aqsa semakin intens, dengan semakin banyaknya orang Yahudi yang melanggar kesepakatan.
Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.
BERITA TERKAIT: