Managing Director Political Economy and Policy Studies (PEPS), Anthony Budiawan, mengingatkan agar negara-negara mitra dagang, termasuk Indonesia, tidak menganggap enteng kebijakan tarif Trump
"Kalau ada yang mengira Trump hanya menggertak saja, harus pikir dua kali. Harap belajar dari sejarah, agar dapat memperoleh hasil maksimal dalam perundingan tarif dengan AS," kata Anthony dalam keterangan tertulis yang diterima
RMOL, Rabu, 14 Mei 2025.
Anthony menyoroti, Trump pada 2 April 2025 yang secara resmi menerapkan tarif impor resiprokal terhadap hampir semua mitra dagang, tak terkecuali negara-negara sekutu seperti Uni Eropa, Inggris, Kanada, Jepang, dan lainnya.
Kebijakan tarif tersebut mengejutkan dunia. Banyak pihak mencemooh Trump dan menilai langkah tersebut hanya sebagai gertakan saja. Namun menurut Anthony, kebijakan tersebut sepenuhnya konsisten dengan sejarah panjang ekonomi protektif negeri Paman Sam itu.
“Amerika Serikat memang tidak pernah mempunyai ‘DNA’ sebagai negara penganut pasar bebas. Sebaliknya, Amerika (itu) negara penganut paham merkantilisme atau sistem ekonomi protektif,” jelas Anthony.
Ia memaparkan, sejak kemerdekaannya, AS telah mengadopsi sistem ekonomi protektif yang dimulai dari Menteri Keuangan pertama Alexander Hamilton pada 1790. Dalam laporan terkenalnya,
Report on Manufactures, Hamilton mendorong proteksi terhadap industri dalam negeri dan subsidi sebagai instrumen untuk membangun daya saing nasional.
Selama lebih dari satu setengah abad, tarif impor AS merupakan yang tertinggi di dunia, bahkan mencapai lebih dari 60 persen pada akhir 1820-an. Proteksi ini sempat memicu ketegangan domestik, seperti krisis penolakan tarif di Carolina Selatan pada masa Presiden Andrew Jackson dan menjadi salah satu pemicu perang saudara tahun 1861.
Namun menurut Anthony, proteksionisme tersebut terbukti berhasil mengangkat kekuatan industri AS hingga menjadi negara paling makmur dan kuat secara ekonomi dan militer, terutama setelah Perang Dunia II.
Penurunan tarif yang terjadi pascaperang, menurut Anthony, dilakukan atas dasar solidaritas untuk membangun kembali ekonomi dunia. Namun hal itu juga menyebabkan defisit neraca perdagangan AS sejak 1970-an sampai saat ini. Untuk itu, Trump yang memandang defisit tersebut sebagai ancaman, memilih untuk mengembalikan kebijakan protektif secara menyeluruh di periode keduanya.
“Kalau melihat sejarah tarif AS, tarif resiprokal Trump termasuk biasa-biasa saja dibandingkan tarif era Andrew Jackson, Morril, atau William McKinley,” tambah Anthony.
Ia menekankan bahwa kebijakan Trump mencerminkan garis politik Partai Republik yang konsisten membela kepentingan nasional melalui pendekatan proteksionisme. Langkah penurunan tarif terhadap beberapa negara, termasuk China, yang kini mulai diberlakukan, menjadi bukti bahwa kebijakan ini bukan gertakan, melainkan strategi negosiasi jangka panjang.
“Pemimpin dari partai Republican lebih “militan” dalam membela kepentingan negara dan bangsanya dalam menjalankan sistem ekonomi protektif ini. Donald Trump hanya salah satu dari mereka,” pungkas Anthony.
BERITA TERKAIT: