Nasib pasar keuangan Asia sudah mulai terpengaruh dengan terpilihnya kembali Trump sejak Rabu 6 November 2024, sehari setelah Hari Pemilihan. Mata uang kawasan terdepresiasi karena imbal hasil Treasury AS 10 tahun melonjak yang dipicu oleh kemenangan Trump.
Tarif yang diusulkan Trump dan kebijakan fiskal yang longgar diperkirakan akan meningkatkan inflasi AS, yang mengarah pada lebih sedikit pemotongan suku bunga dan Dolar AS yang lebih kuat. Meskipun AS menurunkan suku bunga ke kisaran 4,5 persen hingga 4,75 persen - dua hari setelah kemenangan elektoral Trump -, presiden terpilih tersebut telah mengkritik Ketua Fed Jerome Powell sejak masa jabatan pertamanya.
Colin Purdie, kepala investasi global di Manulife Asset Management, mengatakan bahwa pasar terdampak oleh Partai Republik yang mendekati trifecta Gedung Putih-Senat-DPR.
Trifecta terjadi ketika satu partai politik memegang jabatan gubernur, mayoritas di senat negara bagian, dan mayoritas di dewan negara bagian dalam pemerintahan negara bagian.
“Ada hasil yang tidak terduga dalam arti sapu bersih (potensial Partai Republik),” kata Purdie, seperti dikutip dari
Nikkei Asia, Senin 11 November 2024.
“Pasar tidak selalu mengharapkan hasil itu, dan harus berputar cukup cepat untuk menerima kenyataan baru," ujarnya.
Ia mengacu pada volatilitas pasar setelah hasil pemilu.
Mata uang Tiongkok kemungkinan akan menjadi salah satu yang berkinerja terburuk di Asia karena potensi tarif, kata para ahli strategi.
"Renminbi Tiongkok kemungkinan akan berkinerja lebih buruk dibandingkan mata uang utama lainnya setidaknya dalam enam bulan ke depan, atau selama satu tahun," kata Kiyong Seong, kepala strategi makro Asia di bank Prancis Societe Generale, menggunakan nama lain untuk Yuan.
Sebagai indikasi pelemahan mata uang Tiongkok sejak terpilihnya kembali Trump, bank sentral Tiongkok pada Kamis 8 November 2024 menetapkan titik tengah Yuan dalam negeri pada titik terendah dalam sekitar satu tahun di 7,1659 terhadap Dolar AS.
Sementara Mitul Kotecha, kepala strategi makro valuta asing dan pasar berkembang bank untuk Asia mengatakan mata uang Won Korea Selatan, Baht Thailand, dan Yuan sebagai mata uang yang paling rentan terhadap kemenangan Trump dalam beberapa minggu mendatang.
"Won dan Baht memiliki hubungan perdagangan dan pariwisata yang cukup besar dengan Tiongkok," kata Kotecha.
“Kami memperkirakan tekanan yang lebih besar pada suku bunga jangka pendek dan mata uang yang lebih lemah akan mengakibatkan pasar mengurangi ekspektasi pelonggaran di seluruh Asia,” ujarnya.
Michael Strobaek, kepala investasi di Lombard Odier mengatakan instrumen utang pasar berkembang, termasuk obligasi Asia, akan mengalami tekanan akibat terpilihnya kembali Trump.
"Jika Dolar AS tetap kuat untuk waktu yang lebih lama dan suku bunga terkendali pada sisi negatifnya, pasar akan mulai membalikkan sebagian aliran ke utang pasar berkembang yang kita lihat sebelumnya karena pemangkasan suku bunga oleh Fed," ujarnya.
Seong dari Societe General mengatakan obligasi pemerintah India dan Indonesia dapat "terisolasi dari risiko pemilu AS." Obligasi pemerintah India sensitif terhadap harga minyak, sehingga dukungan Trump terhadap produksi minyak dapat menekan harga komoditas tersebut, yang pada akhirnya membantu India mengendalikan inflasi.
Mengenai saham, investor mengutip paket stimulus Beijing yang akan datang sebagai pertimbangan utama sebelum kembali berinvestasi di Tiongkok dan Hong Kong.
Menurut analis, ekuitas Asia Tenggara dapat bergerak naik karena perusahaan-perusahaan semakin diuntungkan oleh ketegangan perdagangan AS-Tiongkok.
Sementara di Jepang, Kei Okamura, manajer portofolio di Neuberger Berman mengatakan, terpilihnya kembali Trump justru menjadi pertanda baik bagi ekuitas domestik dalam waktu dekat.
Ia mengatakan saham eksportir negara tersebut cenderung mendapat dorongan dari mata uang yang lemah.
Ke depan, ada ketidakpastian tentang apakah Trump, sebagai pengusaha, akan menindaklanjuti tarif dan kebijakan yang diusulkannya.
"Sampai kita mendapatkan gambaran tentang kabinetnya selama 90 hari ke depan atau lebih,” kata Okamura. "Akan cukup sulit untuk mengetahuinya."
BERITA TERKAIT: