Anggota KPPU, Budi Joyo Santoso, mengatakan pihaknya telah memanggil Kementerian ESDM dan mengusulkan perubahan formulasi avtur tersebut yang tertuang di dalam Keputusan Menteri ESDM No. 17/2019.
Menurut Budi, besaran konstanta sebesar Rp3.581 per liter dan pajak PPh22 yang dikenakan khususnya untuk avtur produksi domestic, tidak relevan. Sebab, kata Budi, pemenuhan avtur saat ini tengah didorong agar dipasok dari produksi dalam negeri.
"Sementara pemerintah saat ini sedang menggalakkan pemakaian avtur lokal, kalau ditambah biaya itu apakah relevan? Enggak relevan," tuturnya, dikutip Sabtu (6/7).
Kebijakan HET avtur tersebut dianggap sudah usang sehingga menyebabkan harga avtur di Indonesia menjadi tidak kompetitif dibandingkan negara lain.
Kondisi itu, kata Budi, juga menjadi alasan sedikit maskapai penerbangan internasional yang lebih memilih mengisi avtur di luar negeri seperti Singapura, di mana terdapat 5-6 penyedia avtur yang membuat harga lebih murah karena distribusi yang lebih efisien.
Adapun berdasarkan hasil penghitungan KPPU sendiri menunjukkan jika pemerintah mengurangi konstanta menjadi Rp2.000 per liter, hal itu diperkirakan dapat menghemat biaya hingga Rp24,8 triliun. Sehingga, penghematan ini pun diharapkan dapat menurunkan harga tiket pesawat dalam periode yang sama.
Untuk itu, Budi menyayangkan respons dari Kementerian ESDM yang hanya meminta waktu dan analisis lebih lanjut dari Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP), meski pihaknya telah mengajukan usulan tersebut.
KPPU menilai bahwa revisi aturan ini penting dilakukan guna menjaga daya saing industri penerbangan domestik, mengurangi ketergantungan pada impor avtur, dan secara keseluruhan mendukung ekonomi nasional dalam sektor penerbangan.
BERITA TERKAIT: