Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Saatnya Indonesia Pegang Kendali Jalur Perdagangan

 LAPORAN: <a href='https://rmol.id/about/adityo-nugroho-1'>ADITYO NUGROHO</a>
LAPORAN: ADITYO NUGROHO
  • Jumat, 02 Februari 2024, 06:41 WIB
Saatnya Indonesia Pegang Kendali Jalur Perdagangan
Ilustrasi Foto/Net
rmol news logo Indonesia yang terletak di persilangan dua samudera, Pasifik dan Hindia beserta dua benua, Asia dan Australia menjadi jalur perdagangan dunia. Terdapat 4 choke point di Indonesia yang terbentang dalam 3 Alur Laut Kepulauan Indonesia (ALKI).
 
Di ALKI I terdapat Selat Malaka dan Sunda yang menjadi lintas utama jalur perdagangan dari Eropa, Afrika dan Asia Barat menuju Asia Timur. Kemudian di ALKI II ada Selat Lombok dan Makassar yang menjadi jalur utama perdagangan dari Australia menuju Asia Timur.

Selanjutnya tidak kalah penting, ALKI III yang membentang dari Nusa Tenggara Timur (NTT) hingga Maluku dan Papua juga menjadi jalur utama perdagangan global.
 
Menurut data Kementerian Perhubungan, pada tahun 2022, kapal yang berlayar di perairan Indonesia mencapai 10.534, dan sebanyak 9.458 di antaranya merupakan kapal asing.

Sedangkan berdasarkan data data Sistem Manajemen Lalu Lintas Angkutan Laut (SIMLALA), 60.000 kapal mengangkut hingga 1 miliar ton barang keluar dan masuk perairan Indonesia setiap tahunnya.
 
Potensi besar itu tentu harus dimaksimalkan Indonesia dalam menggenjot pertumbuhan ekonomi nasional. Salah satu yang diupayakan pemerintah untuk menyerap potensi itu dengan membangun hilirisasi yang menumbuhkan banyak industri turunan di sekitar jalur strategis tersebut.
 
Praktisi maritim Indonesia, Bambang Haryo Soekartono menilai Indonesia harus menjadi pusat industri karena posisinya yang berada di jalur logistik dan perdagangan global.
 
“Industri kita harus ditingkatkan lagi. Kita memiliki banyak tambang, sehingga hilirisasi itu harus kita mulai. Itu harus kita kejar,” kata BHS akrab disapa kepada Kantor Berita Politik RMOL, Kamis malam (1/2).
 
Penasehat Utama PT. Dharma Lautan Utama ini melihat bahwa potensi tambang yang ada di Sulawesi seharusnya menjadi pusat industri di jalur logistik yang menghubungkan Australia dan Asia Timur.
 
“Jalur ALKI II yakni Selat Makassar sangat mungkin kita yang pegang kendali jika tumbuh pusat industri di situ. Kita juga harus membuat industri yang terintegrasi dengan pelabuhan, sehingga pelayaran dan konektivitas berkembang di situ,” jelasnya.
 
Anggota Dewan Pakar Partai Gerindra ini mengemukakan, jika hal itu terbangun maka serapan tenaga kerja begitu banyak. Dampaknya, pertumbuhan ekonomi nasional terus terdongkrak.
 
“Makannya program hilirisasi baik tambang maupun pangan ini arahnya ke sana, akan banyak tenaga kerja yang terserap. Kita pun bisa bersaing dengan menjadi pemain global, karena posisi kita yang sangat memungkinkan, berada di jalur logistik global,” bebernya.
 
Tak hanya itu, BHS optimis, pusat-pusat industri itu juga akan menumbuhkan pelaku usaha lokal hingga pelaku usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM) yang turut membuka lapangan kerja baru.
 
Sebelumnya, CEO Supply Chain Indonesia (SCI) Setijadi juga menyatakan bahwa program hilirisasi itu harus didukung sistem logistik terintegrasi berbasis komoditas/produk untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas operasional logistik. Hal itu guna meningkatkan nilai tambah dan daya saing komoditas/produk tersebut.

“Efisiensi sangat diperlukan, karena biaya logistik Indonesia yang tinggi. Berdasarkan data Kementerian PPN/Kepala Bappenas, biaya logistik nasional (domestik) Indonesia sebesar 14,1 persen terhadap harga barang,” kata Setijadi dalam keterangannya.

Dia mengatakan penyiapan sistem logistik secara terintegrasi itu untuk mendukung hilirisasi berdasarkan pemetaan pasokan dan permintaannya, baik untuk pasar domestik maupun ekspor.

“Di samping terintegrasi secara end-to-end, sistem logistik itu juga harus mengintegrasikan jasa-jasa logistik dari para penyedia jasa logistik,” jelas Setijadi.

Penyiapan sistem logistik itu, lanjut dia, harus memperhatikan wilayah asal komoditas, lokasi industri pengolahan awal, lokasi industri pengolahan akhir, dan wilayah tujuan akhir, berikut jalur-jalur distribusinya

“Lokasi industri pengolahan awal dalam proses hilirisasi terutama di wilayah-wilayah asal komoditas yang seringkali masih terkendala masalah konektivitas logistik maupun ketersediaan infrastruktur dasarnya, seperti listrik dan air bersih,” bebernya.

“Masalah konektivitas logistik mencakup jumlah, kualitas, dan kapasitas termasuk pemerataannya di berbagai wilayah yang membutuhkan peranan pemerintah maupun pelaku usaha,” tegas dia.    
 
Setijadi menjelaskan integrasi sistem logistik membutuhkan peningkatan kolaborasi antara industri manufaktur dan penyedia jasa logistik.
 
“Tidak hanya secara transaksional namun juga secara transformasional secara jangka panjang. Kolaborasi dan sinergi juga harus dilakukan antar penyedia jasa logistik maupun antara penyedia jasa logistik dan operator fasilitas logistik seperti di pelabuhan,” pungkasnya.
 
Integrasi Pelabuhan dan Industri
 
Hal senada juga diutarakan oleh Direktur Utama PT, Pelabuhan Indonesia (Pelindo) Persero, Arif Suhartono saat berbincang dengan Kantor Berita Politik RMOL beberapa waktu lalu.
 
Arif memandang keterpaduan antara pelabuhan dan industri menjadi harga yang tak bisa ditawar lagi untuk menumbuhkan ekosistem yang mampu bersaing secara global.
 
“Kalau (ingin) mendapatkan traffic yang cukup, namanya port dan industri itu harus menempel. Karena port itu hanya fasilitas dan traffic-nya ada di industri. Terus terang saja, saya ingin mengubah tagline Indonesia Gateway. Itu ingin saya rubah, karena kan kalau gateway itu kan hanya lewat saja, saya ingin meng-energize di suatu industri. Nah port dan industri itu harus linkage,” ujar Arif.
 
Pelindo sendiri telah meng-create beberapa keterpaduan antara pelabuhan dan industri di beberapa daerah di Indonesia. Salah satunya yang menurut dia berhasil ada di Gresik Port.
 
Pihaknya juga tengah menyasar beberapa daerah di Selat Malaka untuk mengembangkan konsep integrasi antara pelabuhan dengan industri.
 
“Jadi harus kita bangun konsep-konsep seperti itu. Kita lagi konsolidasi untuk membuat konsep yang compete. Tapi mindsetnya perlu diubah, pelabuhan gateway dan transhipment itu berbeda, kira-kira seperti itu,” ungkap Arif.
 
Terkait program hilirisasi, Arif memandang hal itu sebagai peluang untuk menciptakan trading dengan menumbuhkan industri.
 
“Program pemerintah hilirisasi itu pasti berdampak, domino effect. Hilirisasi sekarang terjadi tapi belum sampai turunannya lebih panjang lagi. Cepat atau lambat (sekitar) 3-4 tahun ke depan, kita berharap konsistensi pemerintah untuk hilirisasi terus dilakukan. Di sinilah industri akan tumbuh dan di situlah Pelindo akan mendapatkan benefit. Saya percaya itu,” tegas dia.
 
Kendati demikian, Arif mengingatkan agar tumbuhnya industri itu juga dibarengi dengan meningkatnya kualitas sumber daya manusia (SDM). Oleh karena itu, Pelindo juga terus meningkatkan kemampuan SDM yang dimilikinya guna mempersiapkan terciptanya integrasi yang baik.
 
“Nah, saat industrinya tumbuh, kemampuan orangnya juga akan berkembang, traffic tumbuh. Jadi sudah tidak ada pilihan, Indonesia harus menumbuhkan industri. Tanpa itu semua agak sulit untuk tumbuh,” tandasnya.
 
Dengan demikian, peran Indonesia dalam memegang kendali jalur perdagangan global bukan isapan jempol. Hal itu menjadi keniscayaan seiring dengan cita-cita masuk 4 besar raksasa ekonomi dunia di era Indonesia Emas 2045. rmol news logo article

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA