"Itu salah kaprah dalam menÂgartikan istilah perang dagang. Akibatnya kini muncul kepaniÂkan di kalangan pelaku usaha. AS hanya perangi China. Kalau hubungan dagang Indonesia dengan AS tidak dalam posisi kompetisi, tapi sifatnya saling melengkapi," kata Ade kepada
Rakyat Merdeka, kemarin.
Ade menuturkan, evaluasi perdagangan yang dilakukan AS hal yang biasa. Dijelaskan Ade, di dalam perdagangan internasional ada aturan disebut
Generalized System of PreferÂences (GSP). Yaitu, sebuah sistem tarif preferensial yang membolehkan satu negara secara resmi memberikan pengecualian terhadap aturan umum WTO (
World Trade Organization). Artinya, melalui GSP, suatu negara bisa memberi keringanan tarif bea masuk kepada eksportir dari negara-negara tertentu. Biasanya keringanan diberikan untuk ekspor dari negara miskin. Sementara untuk eksportir dari negara kaya tetap dikenakan aturan umum WTO. MenurutÂnya, sejak tahun 2005, GSP ke tekstil sudah tidak ada.
Untuk produk elektronik masih ada yang menerima, tetapi nilai ekspornya tidak besar.
"GSP ke tekstil sudah dicabut karena Indonesia dianggap AS bukan lagi negara berkembang karena Produk Nasional Bruto sudah di atas 1.500 dolar AS. Berbeda dengan Bangladesh dan Kamboja, mereka masih menerÂima pengecualian karena masih di bawah kita," terangnya.
Ade menuturkan, rencana AS mengenakan 124 produk asal Indonesia lebih pada tujuan bentuk saling membutuhkan, bukan untuk membunuh atau membatasi produk Indonesia. "Betul itu adalah bentuk
early warning dari Washington. Saya merasa itu bentuk kangen saja. Mereka ingin kita segera beÂrangkat berunding bagaimana meningkatkan volume dan nilai neraca perdagangan yang baik untuk keduanya. Kalau nilainya naik, defisit perdagangan mereka tidak terasa lagi," ungkapnya.
Ade mengatakan, perundingan dengan AS memang sudah seharusnya dilakukan. Karena, sudah hampir 10 tahun tidak ada delegasi Indonesia melakukan perundingan dagang kedua negara. Sementara, perundingan kerja sama dilakukan Indonesia dengan Uni Eropa jauh lebih intensif.
Ade menyatakan tidak terlalu khawatir dengan kemungkinan terburuk kebijakan dagang yang akan diambil AS. Menurutnya, dampak negatif bila hubungan daÂgang dengan AS terganggu tidak seperti yang orang proyeksikan.
"AS bukan pasar ekspor tektil terbesar Indonesia. Nilai ekspor ke AS 100 miliar dolar AS per tahun. Masih lebih besar ke Uni Eropa mencapai 346 miliar dolar AS," ungkapnya.
Namun demikian, Ade menÂgakui, industri tekstil mengharapÂkan hubungan dagang yang baik dengan AS terus terjalin. Karena, pangsa pasar di luar negeri penting untuk industri Indonesia. Karena di negeri sendiri, produk tekstil dibanjiri produk impor.
Soroti Soal Tenaga Kerja
Wakil Ketua Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia bidang Hubungan Internasional Shinta Widjaja Kamdani menÂerangkan, ada dua aspek perÂdagangan yang sedang ditunjau AS. Pertama, review atas kelayaÂkan Indonesia untuk terus berada dalam daftar GSP dan menerima manfaat pembebasan bea masuk yang dilakukan oleh
US Trade Representative (USTR). Kedua, peninjauan ulang atas lini-lini tarif AS yang dibebaskan bea masuknya bagi produk Indonesia dalam mekanisme GSP yang dilakukan oleh
US International Trade Commission (USITC).
"Review pertama yang dilakuÂkan oleh USTR jauh lebih krusial karena menyangkut keberlangsunÂgan produk Indonesia mendapatÂkan privilege atau keistimewaan dari AS dalam bentuk pembebasan bea masuk atas hampir 3.500 lini tarif," ungkapnya.
Shinta menjelaskan, ada tiga indikator dalam GSP yang seÂlama ini menjadi kekhawatiran pemerintah AS, yakni kepatuhan Indonesia terhadap pemberian akses pasar bagi produk AS di dalam negeri, perlindungan hak kekayaan intelektual (i
ntellecÂtual property protection), dan perlakuan terhadap tenaga kerja.
Menteri Perdagangan EngÂgartiasto Lukita baru-baru ini mengungkapkan, pihaknya teÂlah mengirimkan surat kepada Pemerintah AS. Surat sudah dikirimkan melalui Kedutaan Besar AS serta United State Trade Representative (USTR). ***
BERITA TERKAIT: