Dalam pesan tersebut dikaÂtakan, semua panggilan rekaman telepon akan disimpan. Bahkan aktivitas di berbagai media sosial serta forum ikut dipantau.
Menanggapi ini,
Corporate Secretary BTN Agus Susanto mengklaim, baik dia maupun direksi tidak pernah mendapat pesan serupa.
"Itu semua tidak benar, kami tidak pernah mendapat pesan sepÂerti itu. Kami mohon untuk mengÂabaikan pesan tersebut," pinta Agus kepada
Rakyat Merdeka.
Agus mengingatkan, pihak BTNtak pernah menanggapi pesan-pesan yang tidak jelas sumbernya alias hoaks.
Agus pun menyatakan, tak hanya pesan terkait masalah politik atau masalah lain seperti program penipuan Kredit PemiliÂkan Rumah (KPR) maupun virus komputer dan lainnya, jika tidak ada pernyataan resmi pemerintah atau konfirmasi dari pihak BTN, maka pesan itu jelas hoaks.
"Makanya kami juga memÂinta, dalam hal ini Kementerian Komunikasi dan Informatika (KeÂmenkominfo) untuk lebih sigap daÂlam menghentikan virus maupun berita hoaks yang menyebar beÂgitu cepat. Apalagi jika berpotensi merugikan pihak lain," ucapnya.
Diakui Agus, menyebarnya pesan yang tidak benar dan viÂrus memang bisa mengganggu kinerja perbankan. Untuk itu, ia pun berupaya meningkatkan layanan dan keamanan yang dimulai dari internal.
Pakar digital forensik Indonesia Ruby Alamsyah juga mengingatÂkan, maraknya gangguan digital mulai dari hoaks hingga penyeÂbaran virus memang kini telah merambah di berbagai lini, bukan hanya terkait politik maupun suku agama dan ras (SARA), namun juga terkait bisnis dan ekonomi secara nasional maupun global.
"Baiknya masyarakat jangan mudah percaya apalagi turut meÂnyebarkannya. Karena belum dikeÂtahui kebenarannya," kata Ruby.
Menyoal pesan hoaks lewat WhatsApp, Ruby mengingatkan agar direksi BTN maupun bank lainnya tak perlu menanggapi hal tersebut karena dikhwatirkan bisa mengganggu kinerja peruÂsahaan. amun ia menyarankan, jika terdapat unsur penipuan yang merujuk pada pidana, merÂeka bisa melaporkan hal tersebut kepolisan.
"Musti dilihat perspektif kontenÂnya, apakah merugikan BTN atau tidak. Bagi orang yang paham, peÂsan itu jelas-jelas palsu," ujarnya.
Ruby membeberkan, setidaknya ada empat hal mengapa pesan hoaks masih saja terjadi. Pertama, di era serba digital dan pesatnya penetrasi pengguna handphone berbasis teknologi tinggi seperti Android maupun iOs, penyebaran hoaks hingga virus menjadi sulit dihindari.
Kedua, lanjut Ruby, masih terÂbatasnya sumber daya manusia di sektor penegak hukum siber baik di tingkat Polda, Polsek ataupun Polres.
"SDM di unit cyber crime kepolisian memang masih sangat terbatas. Kejahatan berkembang pesat, namun sisi penegakam hukum justru lamban. Ini terlihat dari banyaknya hoaks dan pelaku penyebar hoaks dan virus yang kerap kali muncul, " terangnya.
Selanjutnya, faktor ketiga adalah dari sisi pelaku yang menyembunyikan identitas mereka sebagai pelaku hoaks yang gemar menggunakan data palsu, sehingga hal ini menjadi salah satu faktor yang mengÂhambat kinerja penanggulangan penyebaran hoaks dan virus.
Keempat yang paling pentÂing, lanjut Ruby, adalah kurangÂnya literasi masyarakat terkait berita hoaks maupun penyebaran virus. Kebanyakan masyarakat Indonesia, selain aktif menggunaÂkan media sosial, juga gemar meÂnyebar
(broadcast) sesuatu yang kebenarannya belum dipastikan.
"Yang penting sebar saja dulu, benar atau salah urusan nanti. Justru ini yang bahaya, kalau semua disebar. Pesan yang baik saja kalau tidak bermanfaat sebaiknya jangan main sebar, apalagi ini yang tidak baik dan tidak bermanfaat malah terus disebarkan," kritiknya.
Pengamat Digital dan IT Heru Sutadi menambahkan, hoaks adalah fenomena yang tentunya merugikan banyak pihak karena berpotensi berisi fitnah.
Heru menyarankan, bagi pihak yang menerima pesan hoaks, seÂbaiknya segera memberikan klariÂfikasi dan menempuh jalur hukum kalau hal tersebut dinilai sudah sangat merugikan perusahaan.
"Kalau tidak benar atau info dari situs abal-abal misalnya, ya baiknya tidak disebar. Sebab, ada ancaman hukuman jika kita melakukannya. Sebab, pencemaÂran nama baik atau fitnah kan diÂlarang sesuai pasal 310-31 KUHP dan jika menggunakan media online atau media sosial bisa dikaitkan dengan pasal 27 ayat 3 Undang-Undang ITEjo Pasal 45 ayat 3," tutupnya. ***
BERITA TERKAIT: