Hal itu diungkapkan Ekonom Universitas Hassanudin Makassar, Muhammad Syarkawi Rauf, dalam podcast bersama Ekonom Bright Institute, Awalil Rizky, yang tayang perdana di Youtube pada Minggu malam, 28 Desember 2025.
Syarkawi menjelaskan, emerging market menyumbang pertumbuhan ekonomi global yang terbesar, di samping negara-negara maju seperti AS.
"Emerging market ini diproyeksi masih bisa tumbuh di atas 4 persen, bahkan 5%. Utamanya India bisa 6-7%, Vietnam 7%, mungkin Indonesia diproyeksi 5%, dan China 5% dan 4,5% tahun depan," ujar dia dikutip Senin, 29 Desember 2025.
Tetapi jika melihat perkembangan ekonomi di negara maju, Syarkawi mendapati trennya malah mengalami penurunan seperti China yang pada 2007 masih bisa tumbuh kurang lebih 14%.
Namun setelah itu, ekonomi Negeri Tirai Bambu mengalami perlambatan karena hanya bisa tumbuh sekitar 8-9 persen akibat supply mortgage AS.
"Sepuluh tahun rata-rata (ekonomi) China itu masih bisa tumbuh 10 persen. Tapi setelah itu (sampai) ke sini, tumbuhnya hanya diproyeksi di 2025 hanya 5 persen. Tahun depan melambat lagi menjadi 4,5 persen," urai Syarkawi.
"Ini pemicunya saya kira itu tadi konsumsi turun, kemudian tingkat pengangguran di China juga naik, utamanya pekerjaan berpendidikan tinggi ini juga mengalami pengangguran. Kemudian krisis di sektor properti," sambungnya memaparkan.
Di samping tren ekonomi China, Syarkawi memperkirakan AS akan membuat satu kebijakan yang memberikan tekanan kepada emerging market, terutama negara-negara di kawasan Asia.
"Ada satu jurnal yang menurut saya menarik. Itu disebutkan monetary policy shock di Amerika dalam bentuk peningkatan suku bunga acuan atau policy rate, itu akan sangat berdampak terhadap financial market secara global. Dan ini terpengaruh oleh posisi Amerika sebagai satu perekonomian terbesar, 26% (pengaruhnya) terhadap (ekonomi) global," katanya.
Akibat dari policy rate AS, Syarkawi meyakini penggunaan USD sebagai reserve currency masih sangat dominan, yakni mencapai 55% hingga 60% bank sentral global menggunakan USD sebagai cadangan devisa mereka.
"Kemudian invoice dalam hal perdagangan internasional ini juga masih sangat dominan dalam USD. Investasi, utamanya di sektor keuangan itu kan denominasinya masih dalam bentuk USD. Ini yang membuat spillover efek, atau efek tular, efek domino," demikian Syarkawi menambahkan.
BERITA TERKAIT: