Pergeseran ini memicu perbincangan yang menarik sekaligus kontroversial, sebab kehadiran mereka menandai perubahan lanskap komunikasi politik dan tata kelola pemerintahan di era digital.
Fenomena ini tidak terjadi dalam ruang hampa. Dunia yang kian terkoneksi menempatkan informasi sebagai kekuatan baru sehingga aktor yang memiliki kemampuan mengelola arus komunikasi turut memiliki ruang pengaruh yang signifikan. Manuel Castells (1996) menyebutnya sebagai network society, masyarakat jejaring di mana legitimasi sosial justru lahir dari kepemilikan atensi publik.
Dalam konteks ini, influencer memiliki modal politik berupa social capital dan attention capital karena kedekatan mereka dengan jutaan pengikut yang setiap hari mengonsumsi konten. Hal ini berkelindan dengan pandangan Freberg et al. (2011) yang mendefinisikan influencer sebagai sosok yang mampu memengaruhi opini publik melalui otoritas digital yang dibangun konsisten.
Sementara Katz dan Lazarsfeld (1955) melalui teori
two-step flow of communication menjelaskan bahwa informasi mengalir tidak secara langsung dari pemerintah ke masyarakat, tetapi melalui figur perantara yang dianggap kredibel dan dekat. Dalam politik hari ini, perantara itu banyak ditemukan pada influencer.
Tidak heran apabila keberadaan influencer di pemerintahan dinilai membawa manfaat tertentu. Bahasa kebijakan yang sering kali rumit dapat diterjemahkan ke dalam format yang akrab bagi publik, penyebaran informasi menjadi lebih cepat, dan
engagement pemerintah dengan generasi muda meningkat melalui pendekatan visual dan narasi yang lebih cair. Pemerintah pun terlihat adaptif terhadap ekosistem komunikasi modern yang menempatkan kecepatan informasi sebagai prasyarat ruang publik.
Namun antusiasme tersebut tidak lepas dari perdebatan. Tantangannya terletak pada garis batas antara popularitas dan kompetensi. Dalam perspektif administrasi negara, Woodrow Wilson (1887) serta Denhardt (2003) mengingatkan bahwa jabatan publik idealnya berlandaskan meritokrasi, yaitu penempatan berdasarkan kemampuan, rekam kerja, dan profesionalitas.
Jika popularitas menjadi tiket yang lebih kuat daripada kapasitas, maka nilai meritokrasi yang menjadi pilar birokrasi dapat tergeser. Kewaspadaan serupa disampaikan Guy Debord (1967) melalui konsep
society of spectacle, bahwa masyarakat modern rentan terjebak pada dominasi pencitraan visual yang mengalahkan substansi.
Politik pun bisa berubah menjadi panggung tontonan jika jabatan publik lebih menonjolkan performa media sosial dibanding tanggung jawab pelayanan publik.
Karena itu, fenomena ini tidak semestinya dipandang hitam putih. Kehadiran influencer bukan untuk ditolak, tetapi perlu dikelola agar tidak mengaburkan integritas jabatan negara.
Regulasi yang jelas ihwal kode etik, potensi konflik kepentingan, hingga tanggung jawab tugas menjadi krusial. Literasi publik pun harus ditingkatkan agar masyarakat mampu menilai kebijakan bukan sekadar dari kemasan konten, tetapi dari kinerja dan kebermanfaatannya bagi rakyat. Pemerintah perlu menjaga keseimbangan antara pendekatan komunikasi kreatif dengan substansi kerja yang tetap terukur dan transparan.
Fenomena influencer yang memasuki jabatan publik pada akhirnya merupakan refleksi realitas baru politik digital Indonesia. Popularitas dapat menjadi jembatan komunikasi, tetapi tidak boleh menjadi satu-satunya tolok ukur kelayakan jabatan. Negara tetap memerlukan pejabat dengan integritas, kemampuan teknokratis, dan orientasi kepentingan umum.
Di tengah derasnya budaya visual, kejelasan etika dan meritokrasi adalah jangkar terpenting agar pemerintahan tidak terperosok dalam euforia spektakularisasi. Influencer dapat menjadi energi baru bagi tata kelola komunikasi publik, selama peran mereka ditempatkan secara proporsional, bertanggung jawab, dan tidak menegasikan kualitas kinerja yang mestinya menjadi standar utama.
Syurya M. Nur
Dosen Komunikasi Politik Universitas Esa Unggul Indonesia dan Anggota Pusat Pendidikan Wawasan Kebangsaan Provinsi DKI Jakarta
BERITA TERKAIT: