Hafisz mengingatkan, sejak pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono hingga Joko Widodo, pihaknya terus menggelontorkan dana, yakni penyertaan modal negara (PMN) demi membesarkan perusahaan pelat merah tersebut.
"Inalum sudah disupport habis oleh Komisi VI sejak pemerintahan SBY sampai Jokowi dengan menggelontorkan PMN sebesar 6,7 triliun, dan sudah terlihat hasilnya, yaitu produksi alumunium sudah 40 persen kuasai pasar Indonesia, dan saham Inalum sudah dikuasai mayoritas oleh Indonesia," kata Hafisz di Jakarta, Senin (3/8).
Dengan begitu, ia menegaskan,kebutuhan terhadap alumunium di negeri ini masih sangat tinggi, terlebih ketika melihat pasarnya. Untuk mengatasi persoalan tersebut, menurut dia, peran pemerintah dan Inalum sendiri sangat diperlukan.
"Jadi kebutuhan kita terhadap alumunium masih banyak. Ada pasar sekitar 60 persen lagi yang akan diperebutkan oleh pemain lokal dan internasional. Nah di sini peran Inalum sangat ditunggu. Maka itu pemerintah hrs menyetop import aluminium jadi. Serahkan saja kepada produsen dalam negeri supaya PT Inalum terus kuat," jelasnya.
Dijelaskan, keharusan impor tersebut karena masih ada 60 persen lagi kebutuhan domestik yang belum terpenuhi oleh Inalum. Hal itu menurut dia sebetulnya bisa diatasi dengan penambahan modal Inalum.
"Modal Inalum perlu tambah, atau cari pinjaman komersial. Terus bahan baku perlu diperluas lagi sumbernya," ujarnya.
Modal yang dimaksudnya adalah guna melengkapi fasilitas-fasilitas untuk pengelolaan alumunium, termasuk yangpaling utama adalah pabrik alumunium yang mencapai hingga triliunan rupiah. Kebutuhan dana besar tersebut bisa melalui cara agar negara memberikan PMN, namun juga bisa dengan cara meminjam ke bank dengan bunga komersial.
"Jadi melihat besarnya kebutuhan itu, satu pabrik bisa mencapai 10 T," jelasnya.
[wid]
BERITA TERKAIT: