Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Kritik Mahasiswa atas Dana Sumbangan Sukarela UGM

*OLEH: Johanes Bremamana

Selasa, 23 Agustus 2022, 18:17 WIB
Kritik Mahasiswa atas Dana Sumbangan Sukarela UGM
Ilustrasi dana/Net
AKHIR-akhir ini Universitas Gadjah Mada (UGM) diguncang dengan narasi penolakan Sumbangan Sukarela Pengembangan Institusi (SSPI) oleh segenap konstituen mahasiswa. Narasinya sederhana, SSPI dianggap mencoreng framing dan manifestasi kata “kerakyatan” yang kerap dilekatkan pada lembaga pendidikan tinggi seperti UGM.

Aliansi Mahasiswa UGM, BEM KM UGM, dan segenap konstituen mahasiswa secara perlahan mulai menelaah penerapan SSPI yang dikenakan pada mahasiswa baru. Ditinjau dari sisi etis, efektifitas, dan urgensi, layakkah SSPI diberlakukan?

Isu pengaktifan kembali Sumbangan Peningkatan Mutu Akademik (SPMA) mulai bergulir dari tahun 2018, namun pembahasannya mangkrak hingga awal 2022 tanpa adanya kepastian secara terbuka. Hal tersebut diafirmasi lewat jawaban enam bakal calon rektor pada forum “Penjaringan Aspirasi Bakal Calon Rektor UGM Periode 2022-2027” (26 April 2022) yang terkesan tidak memprioritaskan isu SPMA untuk diangkat kembali.

Namun, tatkala rektor baru terpilih, secara mendadak orang nomor satu di UGM ini mengeluarkan SK Rektor Nomor 617/UN1.P/KPT/HUKOR/2022 tentang pemberlakuan SSPI. Pemberlakuan ini terkesan dilakukan secara mendadak dengan pembahasan yang dikebut secara singkat tanpa melibatkan unsur mahasiswa seperti MWA. Beberapa catatan kritis terkait dengan penerapan SSPI adalah sebagai berikut.

Upaya penyelenggaraan pendidikan secara mandiri oleh lembaga pendidikan tinggi disebut dengan privatisasi pendidikan. Tujuannya adalah untuk menghasilkan keuntungan sambil mewariskan barang sebagai layanan pendidikan.

Akibatnya, lembaga menangani dana mereka sendiri secara sewenang-wenang. Pendidikan tinggi dianggap sebagai bisnis yang ada hanya untuk menghasilkan uang sampai tingkat otonomi yang paling ekstrem.

Pendekatan terbesar untuk membubarkan pajak sumber daya negara sehingga mereka dapat meningkatkan kehidupan banyak orang adalah dengan memprivatisasi pendidikan. Namun, beberapa orang benar-benar gagal mencapai tujuan mulia dari privatisasi pendidikan itu sendiri dalam praktiknya.

Hasil dari privatisasi pendidikan adalah subsidi PTN-BH yang akan dipotong atau dibekukan tetapi universitas yang terkena dampak harus meningkatkan standar layanan dan kualitas mahasiswa.

Hal ini dikarenakan implementasi kebijakan BH SPP di seluruh PTN terkemuka terus bertumbuh secara signifikan setiap tahun dan metode penerimaan mahasiswa juga terus berkembang maka pimpinan universitas yang bersangkutan mau tidak mau akan memobilisasi pencarian dana dari berbagai sumber dan salah satunya yang dianggap paling mudah berasal dari mahasiswa dan hanya melegitimasi untuk mendapatkan pemasukan yang signifikan.

Argumentasi Penerapan SSPI

Ditinjau dari sisi signifikansi, total mahasiswa baru yang tidak membayar SSPI sebanyak 78 persen atau 2.999 mahasiswa (Formad UGM). Mayoritas yang membayarnya memilih nominal Rp 5 juta. Dinilai dari sisi ini, dana yang dihimpun tidak signifikan menutupi kebutuhan finansial UGM. Sehingga, argumentasi penerapan SSPI dengan dalih pengeluaran yang besar sudah tidak relevan melihat jumlah aliran dana yang masuk terhitung minim.

 Rektor UGM, Ova Emilia mengklaim bahwa UGM menjadi satu-satunya PTN-BH yang tidak menerapkan sistem uang pangkal dan mengatakan bahwa ada PTN-BH berani menetapkan sumbangan sebesar Rp 600 juta.

Kajian Ulang Tingginya UKT

Dibandingkan dengan universitas lain, seperti Undip dan UNY, UGM memiliki rerata UKT yang lebih tinggi. Sebagai contoh, UKT UGM semester gasal 2022/2023 untuk klaster Soshum tertinggi berada di jurusan Psikologi dengan angka Rp 12 juta.

Angka ini lebih tinggi dibandingkan dengan UKT tertinggi Soshum UNY (Rp 4.940.000,00) dan Undip (Rp 8 juta) Adapun pemberlakuan UKT yang tinggi ditambah dengan pemberlakuan SSPI berpotensi memberatkan mahasiswa dengan kondisi ekonomi yang kurang baik.

Bagaimana Transparansi Uang Pangkal UGM?

UGM terakhir kali menerapkan SPMA pada 2013. Ditiadakannya SPMA tidak serta merta menurunkan catatan keuangan UGM. Hal tersebut bisa dilihat dari data yang menunjukkan bahwa dalam kurun waktu 5 tahun terakhir terdapat surplus realisasi anggaran, terutama pada tahun 2021. Selain itu, dana abadi juga bertambah secara konstan dengan surplus yang signifikan (BEM  KM UGM, 2022).

Lebih lanjut, dalam Keputusan Rektor Nomor 617/UN1.P/KPT/HUKOR/2022 Tentang SSPI tidak dijabarkan tentang skema alokasi dana SSPI yang terhimpun. Dengan tidak adanya skema yang jelas, hal ini berpotensi menimbulkan transparansi yang buruk.

UGM sebagai salah satu kampus kerakyatan perlu mempertanyakan lagi status kampus kerakyatannya. SSPI adalah bentuk penyalahan dan pengkhianatan dari sistem UKT itu sendiri.

Penerapan dari SSPI ini dirasa membuat pendidikan yang seharusnya menjadi hak seluruh generasi muda dari bangsa justru menjadi semakin mahal.

Bisa dikatakan SSPI yang nantinya mungkin saja (dan cenderung akan terjadi) menjadi tidak terjangkau lagi. Transparansi jelas diperlukan mengingat dua tahun terakhir kita berada di masa pandemi dan peralihan ke kuliah tatap muka.

Selain dari itu, perlu dipertimbangkan juga apakah memang APBN ke subsidi pendidikan terutama PTN-BH ini sudah mencukupi. Atau justru UGM lagi-lagi harus membebankan ke mahasiswanya.

Atau jangan-jangan Universitas Gadjah Mada akan berubah menjadi Universitas Gemar Memungut?rmol news logo article

*Penulis adalah Ketua Komisi 4 Analisis dan Pergerakan MPM KM UGM

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA