Ruang Publik : Menelusuri Sekat-Sekat Digital Ruang publik, secara sadar kita berceloteh dengan kawan kelas yang diuploud ke media sosial. Bermodal kuota, alat elektronik dan ketanggapan digital, dialog yang terjadi dalam ruang tertutup pun kini dapat terilustrasikan dalam media-media digital, dari kerabat hingga seluruh penjuru dunia dapat mengaksesnya. Realitas ruang publik saat ini tidak sesempit mimbar-mimbar masjid ataupun panggung teater.
Hari ini dunia hadir dalam genggaman, berbicara figur dalam ruang publik berarti berbicara tentang porsi figur baik dalam ruangan fisik ataupun ruang visual digital. Baik porsi secara peran maupun secara nilai. Dalam hal ini pembahasan perempuan dalam ruang publik, maka tak lepas bagaimana peran perempuan dalam lingkup domestik. Hal ini penting agar tidak terjadi pemaksaan standar dalam hak dan kewajiban laki-laki sebagai gender lain selain perempuan.
Ruang publik adalah realitas sosial yang hadir bahkan hanya dengan jemari bergerak di layar smartphone. Kondisi ini bukan saja tentang terbukanya peluang untuk berekspresi lebih efesien dan kesempatan dalam revolusi alat-alat produksi demi memenuhi permintaan market akan tetapi juga menciptakan ruang-ruang publik menjadi rancu, bias dan bahkan saling bertabrakan antara kebebasan dan batasan.
Bila dulu pelecehan seksual hadir sebagai perbuatan yang tampak terasa secara fisik, kini pelecehan seksual dapat hadir dalam telepon genggam lewat suara, citra yang non fisik, bahkan dengan stiker-stiker lewat media sosial. Kebutuhan masyarakat terhadap ruang publik semakin meningkat.
Dalam wacana aktualisasi diri misalnya, anak-anak muda berlomba-lomba menemukan kesenanangan lewat tampil di sosial media, atau masyarakat yang mulai konsumtif melalui pasar-pasar yang berdekatan hanya lewat aplikasi mereka dapat terhubung dengan marketplace yang berada jauh dari rumah mereka.
Kemajuan teknologi membuat kita tak dapat membedakan mana privasi dan mana publik, aktivitas sehari-hari yang dipertontonkan oleh publik menghancurkan sekat- sekat privasi, sedangkan disisi lain, ruang tersebut hadir memberikan kebebasan berekspresi hingga kehilangan identitas.
Berangkat dari keresahan terhadap hilangnya sekat-sekat antara ruang privasi dan ruang publik. Hubungan ini erat kaitannya dengan perempuan, sebagai figur yang identik dengan hiruk-pikuk domestik. Apakah kerancuan sekat-sekat ruang ini akhirnya juga mengaburkan peranan perempuan? Baik di ruang publik ataupun rumah tangga? Ulasan berikut akan menjawab melalui keakraban dialektis lewat kajian teologis.
Perempuan di Ruang Publik : Antara Hak dan Kewajiban Hak yang pertama yang berkaitan dengan perempuan di ruang publik yakni kebebasan pribadi kebebasan disini termasuk dengan kebebasan berekspresi. Pada dasarnya setiap manusia dibatasi oleh syariat, artinya selama kebebasan tersebut tidak merampas hak orang lain dan juga melanggar syariat artinya merampas hak Allah sebagai pencipta untuk ditaati, maka kebebasan tersebut bersifat mubah.
Kebebasan ini sangat penting bagi manusia karena Allah telah memuliakan bani Adam . Menjadi hak manusia untuk menikmati haknya (kebebasan), sedangkan merampasnya, berarti merebut kemanusiaan dan haknya. Meski demikian, bertindak melampaui batas adalah sebuah kezaliman dan kezaliman itu haram. Allah berfirman (al baqarah:190).
Perempuan di ruang publik untuk mengemukakan pendapat misalnya, hal tersebut diperbolehkan asalkan caranya sesuai dengan syariat seperti tidak bertabaruj artinya perempuan tersebut berniat untuk memperlihatkan perhiasannya sambil mengemukakan pendapat di khalayak ataupun pendapat yang disampaikan juga harus sesuai syariat, misalnya berdakwah.
Apabila yang dia kemukakan merupakan hal yang melanggar syariat maka tentu hal ini dilarang, contohnya perempuan yang turun ke jalan untuk menyuarakan kebebasan berpakaian dalam hal ini bahkan termasuk berpakaian terbuka ataupun telanjang, menolak poligami dan bentuk pelanggaran syariat lainnya. Hal ini sama saja menentang syariat Allah, tentu saja hal ini dilarang dalam Islam.
Namun ruang publik bagi perempuan juga terikat dengan kebutuhan umat terhadap dakwah, tidak mungkin ulama-ulama yang hanya dari kalangan laki-laki saja cukup untuk membangun peradaban islam yang gemilang, akan tetapi perempuan juga harus mengisi forum-forum dakwah di ruang publik.
Karena kewajiban berdakwah tidak hanya diemban oleh laki-laki saja melainkan juga perempuan, kewajiban ini terkandung dalam surah Ali Imran : 104, yang artinya “Dan hendaklah ada diantara kamu segolongan umat yang menyerukan kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang mungkar; merekalah orang-orang yang beruntungâ€.
Kewajiban lainnya yang diemban oleh perempuan adalah figur yang sangat berperan dalam rumah tangga. Dalam konteks rumah tangga, perempuan tidak hanya berhenti pada proses pemenuhan kebutuhan seksual semata dan pembuahan anak, akan tetapi menyusui, merawat dan mengasuh anak tentu tidak lepas dari peranan perempuan. Maka tidak selayaknya stigma negatif muncul dari peranan tersebut yang kemudian memarginalisasikan peran perempuan dalam lingkup domestik.
Perempuan di ruang publik tentu dibatasi dengan peranan domestik, bila perempuan sibuk mengejar materi di luar rumah, sedangkan sang suami sudah sibuk bekerja untuk mencari nafkah, dan disisi lain anak-anak di rumah dibiarkan terlantar tanpa ada pengasuan dari sang ibu, tentu saja hal ini tidak dibenarkan.
Bila diilustrasikan dengan contoh yang berbeda tapi memiliki nilai yang sama, bayangkan jika laki-laki sebagai suami turut mengasuh anak di rumah, sedangkan sang istri juga mengasuh anak di rumah sehingga peranan suami sebagai pencari nafkah disini tiada, sama saja tidak dibenarkan. Adil bukan berarti memiliki peranan dan fungsi yang sama, akan tetapi adil adalah menempatkan sesuatu pada tempatnya.
Dilematis Peradaban Liberal, Antara Kebebasan Berekspresi atau Krisis Identitas?
Perempuan tercipta dengan potensi fisik yang berbeda dengan laki-laki, hal ini berdampak pada bagaimana keberfungsian aspek biologis yang diatur dalam kajian teologis. Perempuan tak hanya sebagai pembeda melainkan juga terdapat fungsi yang melekat pada identitas. Identitas tidak hanya tercantum dalam pintu toilet, gerbong kereta ataupun kartu identitas formil belaka, akan tetapi juga melekat pada tubuh, balutan kain yang menutupi, hingga profesi.
Contoh tidak ada diantara perempuan-perempuan yang berteriak keseteraan itu setuju ketika perempuan juga diberdayakan menjadi supir truk misalnya, tukang gali proyek ataupun pekerjaan kasar lainnya.
Dalam hal ini liberalisme mencoba mendikotomi bahkan menghilangkan aspek biologis dalam peranan sosial, sehinga muncul terminologi gender dalam labolatorium sosiologi. Perempuan akhirnya dilema, mereka tidak mau diatur dalam hal berpakaian misalnya, dengan narasi “My Body, My Priority†mereka menunggangi itu untuk diterima lekuk tubuhnya tanpa balutan pakaian tertutup, mereka beranggapan bahwa tidak ada pakaian laki-laki ataupun pakaian perempuan, yang ada hanya kain yang membalut tubuh manusia.
Padahal perempuan diciptakan sebagai objek keindahan sehingga harus ditutupi dari mata publik yang mana mereka tidak berhak menikmati keindahan tersebut kecuali oleh suaminya yang menjadi pasangan hidupnya, akan tetapi liberalisme mencoba menarasikan identitas ala mereka, sehingga perempuan mengalami krisis identitas. Di tengah narasi kebebasan berekspresi, perempuan justru mengaburkan dirinya dari fitrah yang mereka miliki. Hak dan kewajiban seolah tak ada lagi dibenak mereka, yang dipikiran mereka hanyalah kebebasan tanpa batas.
Paradoks mulai bermunculan saat liberalisme masuk, terutama pada negeri-negeri timur termasuk indonesia. Akutulturasi liberal menyebabkan pergeseran nilai sehingga terjadilah degradasi pemikiran. Contoh kasus dimana para perempuan tidak mau dirundung pelecehan seksual akan tetapi mereka menarik para pelaku untuk melakukan hal yang tidak senonoh, seperti rumah yang terbuka tanpa pengamanan, lantas pemiliki rumah secara sadar melakukan hal tersebut, sehingga ketika perampokan terjadi di rumahnya, pemiliki rumah justru berpandangan bahwa hak dirinyalah untuk membuka lebar-lebar rumah tersebut. Sampai kapanpun perampok ataupun pelaku pelecehan seksual tetap salah, namun psikologis korban perlu diuji pula, sejauh mana korban berupaya melindungi haknya.
Ide kesetaraan inilah akhirnya justru membuat marak pelecehan seksual, pelanggaran syariat, hingga krisis identitas. Kesetaraan dalam balutan liberalisme pada dasarnya tidak membawa kemaslahatan melainkan hanyalah sebagai alat pemenuhan nafsu, kerusakan, dan kemunduran berpikir. Manusia diciptakan oleh Tuhan semesta alam yakni Allah SWT, maka ide keadilan seharusnya berlandaskan dari Al-Qur’an dan As- sunnah, bukan liberalisme, Feminisme, ataupun ideologi buatan manusia lainnya.
Penulis adalah Mahasiswi Kesejahteraan Sosial FISIP UMJ
BERITA TERKAIT: