Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Pesta Demokrasi 2024: Utopisme Perubahan?

OLEH: DIAN FITRIANI*

Kamis, 25 Januari 2024, 19:01 WIB
Pesta Demokrasi 2024: Utopisme Perubahan?
Ilustrasi Pemilihan Umum Serentak 2024/RMOL
Alat Peraga Kampanye Meresahkan

MENJELANG Pemilu 2024 yang diselenggarakan pada 14 Februari mendatang tak ayal menyibukkan berbagai pihak, mulai dari partai politik (parpol), capres (calon presiden) dan cawapres (calon wakil presiden), tim sukses atau tim pemenangan hingga calon legislatif demi menyambut pemilu.

Sejumlah baliho paslon (pasangan calon), bendera parpol hingga spanduk caleg memenuhi pemandangan sudut kota, berjajar berantakan di pinggir jalan raya saling berebut perhatian masyarakat. Alih-alih menjadi pertimbangan opsi pemilihan saat pemilu nanti, justru mengundang jenuh dan geram warga sekitar.
 
Alat peraga kampanye (APK) yang gencar digunakan jelang pemilu ini tak hanya dipasang di berbagai fasilitas pelayanan umum, tapi juga di properti milik pribadi. Jelas hal ini sangat mengganggu kepentingan umum maupun pelanggaran hak pribadi yang tidak mustahil terjadi.

Kejadian pemasangan stiker partai di rumah warga yang akhirnya dilepas paksa pun juga menuai konflik antar caleg.

Agus Harianto, warga Desa Petahunan, Kecamatan Sumbersuko, Kabupaten Lumajang, Jawa Timur mengaku mendapatkan somasi usai melepas stiker caleg yang tertempel di jendela rumahnya. Video TikTok Agus saat melepas stiker salah seorang caleg viral di media sosial mengundang desakan oleh timses caleg yang bersangkutan agar segera men-take down. Penolakan Agus untuk take down video tersebut pun menuai somasi dari timses caleg.
 
Tak hanya itu, ditemukan stiker caleg di transportasi umum seperti Transjakarta. Tak sedikit pula stiker caleg menempel di beberapa fasilitas umum, seperti halte, pagar pembatas jalan, bahkan pohon.

Padahal sudah jelas tertera pada Pasal 71 UU 7/2007 tentang Pemilu dikatakan, terdapat beberapa tempat umum yang dilarang untuk ditempelkan alat peraga kampanye di antaranya rumah sakit, bangunan dan fasilitas milik pemerintah, pohon, jalan protokol bebas hambatan, tempat ibadah dan tempat pendidikan.
 
Pemasangan alat peraga kampanye tak hanya menuai geram warga, bendera partai yang terpasang di flyover hingga memenuhi pembatas jalan juga mengganggu dan membahayakan pengguna jalan. Bahaya yang ditimbulkan seperti kecelakaan akibat tertimpa bendera, ataupun tersangkut di kendaraan dan menghalangi pandangan pengendara.

Ini terjadi di flyover Kuningan, Mampang, Jakarta Selatan akibat tersangkut bendera partai. Sepasang kakek-nenek yang berkendara motor saat itu mengalami luka serius di bagian wajah hingga dilarikan ke rumah sakit.

Kejadian ini hanyalah salah satu dari sekian banyak korban akibat keteledoran pemasangan APK. Masalah kemacetan kota dan polusi udara semakin komplet dengan semrawutnya APK yang menghiasi sepanjang jalan protokol dan sudut-sudut kota.
 
Saat seharusnya kita sebagai rakyat diperkenalkan tata kelola pemerintahan demi mencapai good governance dari para caleg partai politik yang dianggap kompeten di bidangnya, nyatanya kita malah semakin tidak percaya mereka mampu tampil sebagai calon pemimpin masa depan.

Mereka saja gagal mengiklankan diri, alih-alih menarik perhatian justru mengundang geram dan gusar rakyat.

Romantisme antara Oligarki dan Partai Politik

Di samping memakan korban juga menuai keresahan rakyat, biaya pengadaan alat peraga kampanye tentu saja tidak murah. Pesta demokrasi yang diadakan 5 tahun sekali ini sangat memakan banyak tenaga dan biaya.

Partai politik yang seharusnya mampu menampung aspirasi rakyat justru disibukkan untuk agenda kampanye yang sebetulnya tidak bermanfaat bagi rakyat. Kita ambil contoh dana kampanye dari tiga partai dengan pengeluaran paling besar. Peringkat pertama yakni PDIP dengan pengeluaran Rp183,86 miliar, menyusul PSI dengan Rp33,06 miliar, dan PAN Rp29,83 miliar.
 
Pertanyaannya, untuk apa mereka mengeluarkan biaya sedemikian besar? Oke, untuk kampanye, tapi untuk apa? Apakah untuk alat peraga kampanye yang kian memakan korban? Ataukah untuk melanggengkan praktik money politic yang marak terjadi jelang pemilu?

Yang jelas, partai politik berlomba-lomba untuk berkampanye dengan modal sebegitu besarnya tidak memberikan dampak yang berarti pada kesejahteraan rakyat. Lagi pula dari mana ongkos kampanye yang sangat besar itu? Dari mana pendapatan partai politik?
 
Bila membahas pendapatan partai politik, setidaknya ada tiga yaitu iuran anggota mulai dari 10-40 persen dari penghasilan anggota yang menjadi pejabat. Selanjutnya sumbangan masyarakat bisa dari individu maupun lembaga swasta, dan terakhir yakni APBN/APBD dengan hitungan seribu rupiah per suara sah di pemilu tahun sebelumnya.

Semakin banyak anggota yang menjabat di parlemen, maka semakin banyak pendapatan parpol. Tapi tidak mustahil juga, penghasilan gelap dari pencucian uang, narkoba, dan praktik bisnis gelap lainnya yang dilakukan oleh segelintir anggota parpol turut menambah pendapat partai.

Sebagaimana yang disebutkan oleh Mahfud MD pada talkshow di acara Kick Andy, beliau bilang mungkin saja terjadi hal demikian sebagai jalan pendapatan partai bila dalam kondisi hari ini biaya politik sangat mahal.

Di samping itu, anggaran partai erat kaitannya untuk menaikkan elektabilitas partai. Semakin besar anggaran politik partai, maka semakin tinggi elektabilitas partai. Hal ini semakin memperkuat bahwa sistem yang digunakan oleh negara ini adalah kapitalisme dengan circular logic yang berputar pada lingkaran pusaran materi/uang.
 
Contoh, kesejahteraan rakyat tergantung pada kebijakan. Kebijakan adalah hasil dari mekanisme politik melalui partisipasi parlemen sebagai legislasi hukum/kebijakan, partisipasi parlemen diisi oleh legislatif dari berbagai partai.

Sementara untuk dapat menjadi legislatif harus menjadi anggota partai, namun menjadi anggota partai saja tidak cukup. Perlu modal untuk menjadi calon legislatif sebagai biaya operasional demokrasi. Sehingga ongkos politik dalam demokrasi sangatlah mahal.
 
Hal inilah yang akhirnya berujung pada transaksi politik dengan para cukong korporasi/oligarki yang dianggap mampu membiayai ongkos politik sang calon yang kian mahal. Alih-alih setia berpegang teguh membela rakyat, setelah menjadi legislatif peluang untuk korupsi menjadi sangat empuk dan lebih terbuka. Apalagi mengingat bahwa modal politik yang dikeluarkan kala masih menjadi calon tidaklah sedikit.

Belum lagi janji politik yang terlampau memihak korporasi oligarki sebagai jaminan modal politik mendesak si 'wakil rakyat' ini untuk membuat kebijakan yang menguntungkan oligarki.

Artinya, kesejahteraan rakyat tergantung pada si pembuat kebijakan yang naasnya mereka digerakkan oleh sang pemberi uang/modal politik. Inilah era neo-politik etis, wakil rakyat adalah wakil bagi rakyat yang sudah sejahtera oligarki, karena merekalah yang mampu menjawab transaksi kepentingan. Jadi mungkinkah kepentingan rakyat dapat terwakili dalam sistem ini?
 
Sudah menjadi rahasia umum, masing-masing partai politik memiliki backing oligarki ataupun korporasi yang juga punya kepentingan dan proyek-proyek besar. Setidaknya, dari sini kita memahami bahwa sejatinya sistem hari ini tidak akan pernah mewakili rakyat, siapa pun yang menang, siapa pun yang terpilih, mereka akan tetap berkhidmat pada para penunggangnya, yakni oligarki.

Wajar saja UU Cipta kerja disahkan dengan membabi-buta meski rakyat tak setuju, karena yang mereka wakili adalah kepentingan oligarki, bukan rakyat kecil yang tak berpengaruh pada kemakmuran partai politik dan kemulusan jalannya praktik demokrasi penguasa.

Kontestasi Pencitraan dan Janji Palsu

Jelang pemilu, para caleg dan capres-cawapres berlomba-lomba unjuk gigi tebar pesona dengan menawarkan janji-janji manis. Blusukan juga dilakukan demi mendapatkan citra baik dari rakyat yang sudah lama diabaikan.

Kesan "merakyat" Ingin ditampilkan saat si calon mendadak dermawan mendatangi rumah ke rumah untuk menanyakan kondisi sosial, tapi ending-nya selalu pemberian sembako yang sarat akan praktik money politic atau bahasa lokal sering menyebutnya dengan "serangan fajar".

Alih-alih menyelesaikan persoalan, rakyat malah terbius dan tergoda hingga bertabiat menunggu sembako sebelum memilih calon tertentu. Terlebih kebanyakan yang didatangi adalah mereka yang tak berpendidikan tinggi, kondisi ekonomi buruk, dan tak peduli dengan kebijakan apa yang nantinya akan berdampak ke depannya terhadap nasib mereka.

Mereka hanya melihat ada secercah harapan yang sebetulnya sementara dan parsial, kala besek sembako sampai di tangan.
 
Sudah menjadi rutinitas jelang pemilu, tawaran manis mulai dari program kerja serba gratis hingga blusukan pencitraan dilakukan saat masa kampanye. Intrik penipuan dengan memberikan seribu janji palsu nyatanya tidak terealisasi saat mereka terpilih.

Lupakan tentang "timbul tenggelam bersama rakyat" ataupun "10 juta lapangan kerja". Kisah cinta rakyat dan penguasa selalu berakhir tragis. Mereka tak tulus mengiba kepada rakyat, mereka hanya butuh suara rakyat demi memuluskan kepentingan yang jauh dari visi menyejahterakan rakyat.

Dalam demokrasi, kekuasaan merupakan alat untuk mencapai keuntungan dan materi sebesar-besarnya. Maka dari itu, tak sedikit yang berlomba-lomba meraih kekuasaan dalam pesta demokrasi dengan berbagai cara. Mereka tak malu punya wajah banyak saat masa kampanye. Memelas dan mendadak dermawan demi mendapatkan suara.

Janji palsu dilancarkan untuk menarik simpati rakyat. Tak sedikit pula rakyat yang tertipu, lantas memilih demi sembako ataupun amplop yang isinya tak seberapa bila dibandingkan dengan nasibnya 5 tahun ke depan.
 
Namun dalam demokrasi, berbohong sah-sah saja, berjanji manis lantas setelah terpilih bodo amat dengan janji-janjinya pun boleh-boleh saja, lagipula siapa yang mau protes? Mengkritik saja bisa dijerat hukum, sudah banyak kasusnya.

Lalu siapa yang mau menggugat kalau sudah begini? Belum lagi black campaign dan fitnah antar kontestan tak jarang ditemukan. Mereka mengadu domba rakyat untuk membenci satu sama lain baik partai maupun calon semua musuh kecuali dirinya sendiri. Semua dapat dilakukan demi memuaskan hasrat kekuasaan.
 
Tak peduli nyawa rakyat jadi korban, tak peduli jutaan rakyat menangis beradu nasib berharap akan ada pemimpin adil yang terpilih yang kelak merubah nasib mereka, tak peduli jutaan rakyat tertipu harap cemas menunggu hasil pemilu nyatanya mereka kongkalikong bekerja sama sementara kontestasi hanya gimmick demokrasi.

Bahkan ada pula rakyat yang rela berkorban menyumbangkan harta diantara mereka menjadi simpatisan atau penggemar berat sang calon. Padahal semuanya hanya tentang suara, bukan tentang kesetiaan mereka terhadap rakyat. Semua hanya kemunafikan dan hipokrit belaka.

Kontestan demokrasi tak peduli dengan rakyat tak memberikan modal berarti bagi kelancaran politiknya, meski suara adalah modal, namun suara rakyat adalah sesuatu yang bisa dibeli oleh janji manis mereka, berbeda dengan transaksi kepentingan dengan cukong/oligarki korporasi, sebagai protagonis utama dalam demokrasi tentu tidak boleh dikesampingkan. Sementara rakyat kecil mereka hanya figuran yang menjadi objek empuk kala masa kampanye jelang pemilu berlangsung.
 
Dalam demokrasi semua bisa terjadi, penipuan, perampasan, dinasti, dan kebijakan yang tak berpihak pada rakyat. Karena sistem demokrasi bukan lagi soal siapa memilih siapa, tapi apa yang mengendalikan siapa? Sehingga siapa pun yang terpilih, pasti dikendalikan oleh kapitalis, penguasa demokrasi yakni jajaran oligarki korporasi.

Berganti Pemimpin, Membawa Perubahan?

Berbicara sosok pemimpin, bukan saja bicara kualitas kepemimpinan, namun juga integritas yang dinilai melalui kepribadian seorang pemimpin yang amanah, jujur, adil dan bertanggungjawab.

Jika kualitas kepemimpinan khususnya sebagai pemimpin negara dapat dilatih sehingga lahir keterampilan kecakapan public speaking, penguasaan strategi militer dan pertahanan, kecerdasan diplomasi dan negosiasi serta berbagai kompetensi lainnya. Maka kepribadian seorang pemimpin lahir dari ekosistem serta faktorisasi kepribadian lainnya yang menciptakan dimensi kepribadian.

Hal ini tentu sangat dipengaruhi oleh sistem pendidikan dan sentralitas peran perempuan dalam pengasuhan.
 
Namun sayangnya, kepribadian hari ini terbentuk oleh sistem pendidikan sekuler yang jauh dari nash-nash agama, bahkan agama dipinggirkan pada ruang-ruang marginal yang dinilai sebagai konsepsi privat yang tak boleh orang lain ikut campur atas perilakunya sebagai hambanya Tuhan. Sehingga, tak jadi soal siswa mabuk namun berprestasi, sang pembully yang juara di kontestasi bela diri.

Prestasi hanya tentang juara perlombaan dan nilai akademik, tak peduli tentang etika akhlak dan manifestasi ketaatan pada ilahi. Aspek teologis dalam dunia pendidikan dianggap sebagai logika mistika, tak masuk akal dan mitos belaka.

Pahala, dosa, surga, neraka hanya sekedar mengisi waktu pelajaran agama yang tak dibahas secara mengakar dan didalami esensi dari aqidah yang dihubungkan dengan realitas hari ini.
 
Dari sistem pendidikan sekuler, lahirlah kepribadian-kepribadian yang cakap berpidato tapi tak taat aturan tuhan, sehingga berbohong dan berjanji manis tak jadi kesulitan asal bisa retorika semua mulus diterima masyarakat. Lahirlah seorang calon pemimpin yang gemar nonton porno demi memuaskan hasrat seksualitas, sehingga tak jadi soal kalau rakyat jadi korban dari hasrat kekuasaannya.

Lahir seorang calon pemimpin yang pengadu domba, pemarah, dan emosional. Lahir seorang calon pemimpin yang dihasilkan dari produk dinasti melalui mekanisme demokrasi yang culas, lahirlah seorang calon pemimpin yang korup, zalim dan tak berprikemanusiaan melalui tangan besi membuat proyek-proyek yang kian merugikan rakyat hingga tak sedikit nyawa rakyat melayang.
 
Selain pendidikan sekuler yang paling bertanggung jawab atas rusaknya kepribadian pemimpin tentu saja sistem politiknya yang berperan penting dalam membentuk kualitas pemimpin hari ini.

Demokrasi sebagai citra suara rakyat suara tuhan merupakan konstruksi pemikiran barat yang kecewa terhadap aturan tuhan saat masa dark age di Eropa Barat. Mereka penganut teokrasi kala itu kecewa dengan Inkuisisi gereja yang menunggangi firman tuhan demi hasrat kekuasaan para gerejawan.

Cendekiawan yang gugur menjadi bukti rusaknya sistem teokrasi yang saat itu berkiblat pada Katolik. Win-win solution yang dihadirkan oleh kedua pihak yakni para gerejawan dan cendekiawan kala itu berunding untuk menentukan sistem macam apa yang paling tengah untuk mewakili kepentingan mereka bersama.

Sekularisme akhirnya menjadi hasil kesepakatan dimana tuhan dengan otoritas agama sementara otoritas politik dan kebijakan ada di tangan rakyat tanpa di intervensi oleh nash-nash ilahi.
 
Doktrin demokrasi sebetulnya telah berkembang sejak romawi kuno atau Yunani. Aristoteles sebagai tokoh demokrasi mengatakan dalam buku politics, Doktrin pemerintahan demokrasi tidak lain adalah kebebasan.

Kebebasan inilah yang akhirnya menjadi sebuah instrumen konstruksi demokrasi barat menuju demokrasi liberal yang dicetus oleh Montesquieu dengan trias politica konsepsi separated of power. Ataupun sebuah Doktrin Abraham Lincoln yang mengatakan bahwa demokrasi adalah pemerintahan dari, oleh dan untuk rakyat.
 
Dari sini akhirnya dinamika demokrasi yang mulai diterima oleh negara-negara bekas jajahan ataupun hasil dari kongkalikong LBB yang saat ini PBB saat kemenangan Inggris atas perang dunia pertama mengawali kolonialisme dan imperialisme. Menghasilkan produk demokrasi modern yang juga saat ini dianut oleh Indonesia.
 
Lalu pertanyaannya, apakah berubah pemimpin berarti dapat membawa perubahan yang hakiki? Tentu saja tidak. Bila melihat berbagai permasalahan yang terjadi tidak lain diakibatkan oleh segudang akar masalah yang bersumber dari demokrasi itu sendiri.

Pertama, demokrasi menganut sistem suara mayoritas, sehingga ironisnya mayoritas ini seringkali dimonopoli oleh kaum-kaum yang nyatanya tidak berpihak pada rakyat kecil.

Kedua, kebebasan berpendapat yang paradoks artinya kebebasan yang mengekang, rakyat tidak bebas berpendapat, tapi penguasa lah yang bebas menafsirkan dan bebas berpendapat dan merubah konstitusi demi melanggengkan kekuasaan dan praktik kecurangan.

Ketiga hukum besi oligarki yang menjadi pemeran utama demokrasi, menggerakkan kebijakan lewat aliran modal materi sehingga terjadinya perselingkuhan kekuasaan.
 
Thomas Hobbes dalam Leviathan (1651) memandang bahwa kondisi masyarakat yang cenderung pemberontak dan brutal sehingga diperlukan adanya kekuasaan absolut yang menertibkan konflik yang terjadi di tengah-tengah masyarakat.

Pemahaman ala barat ini memunculkan para pemimpin zalim dan angkuh. Ruwaibidhah (pemimpin zalim) inilah yang akhirnya menjadi budak dan boneka para kapitalisme atau penguasa sesungguhnya untuk melayani kepentingan elite oligarki kapitalis. Sehingga pembangunan dilakukan hanya untuk mengekalkan penjajahan dan hegemoni kapitalisme.
 
Jadi, mungkinkah pesta demokrasi mampu membawa perubahan yang hakiki? rmol news logo article

*Mahasiswi Kesejahteraan Sosial FISIP Universitas Muhammadiyah Jakarta
EDITOR: DIKI TRIANTO

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA