Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Kenaikan Tarif Cukai Rokok Elektrik: Peluang atau Hambatan bagi Negara

Kamis, 28 November 2024, 14:02 WIB
Kenaikan Tarif Cukai Rokok Elektrik: Peluang atau Hambatan bagi Negara
Ilustrasi/Net
PEMERINTAH Indonesia melalui Peraturan Menteri Keuangan (PMK) 192/PMK.010/2022, menetapkan kebijakan baru mengenai tarif cukai rokok elektrik untuk tahun 2024. Hal tersebut berlaku hingga 2027 mendatang dengan besaran tarif 15 persen per tahun. 

Ketentuan tarif untuk rokok elektrik padat sebesar Rp3.074 per gram, rokok elektrik cair sistem terbuka sejumlah Rp636 per milimeter, dan rokok elektrik sistem tertutup sebesar Rp6.776 per milimeter. Kondisi berpengaruh pada kenaikan tarif pengolahan hasil tembakau lainnya (HPTL)  hingga sejumlah 6 persen. 

Di samping kenaikan cukai rokok elektrik, dalam beberapa tahun ini penggunaan rokok elektrik di Indonesia menunjukkan tren peningkatan yang signifikan, hal tersebut terjadi di kalangan anak muda dan perokok dewasa yang mencari solusi alternatif dari rokok konvensional. 

Solusi alternatif yang ditawarkan dari rokok elektrik sendiri memiliki resiko yang lebih rendah dibandingkan dengan penggunaan rokok konvensional.

Penggunaan Rokok Elektrik di Indonesia

Saat ini, rokok elektrik atau yang dikenal dengan sebutan “vape” sedang tren bagi setiap kalangan usia di Indonesia. Pada tahun 2023, menurut data Survei Kesehatan Indonesia (SKI) yang dilansir Kementerian Kesehatan Republik Indonesia menunjukkan bahwa perkiraan jumlah perokok aktif mencapai 70 juta orang, yang mana 7,4 persen di antaranya ialah perokok berusia 10-18 tahun. 

Banyaknya pengguna rokok elektrik, khususnya di kalangan remaja disebabkan karena banyaknya persepsi yang mengatakan bahwa rokok elektrik lebih baik dibandingkan dengan rokok konvensional. Selain itu, rokok elektrik yang dapat digunakan kapan saja dan dimana saja menjadi poin plus untuk para pengguna rokok elektrik.

Meningkatnya pengguna rokok elektrik di Indonesia ditunjukkan pula dari pernyataan yang disampaikan oleh Dokter Paru Indonesia yakni Prof. Agus Dwi Santoso. Beliau mengatakan bahwa Indonesia merupakan negara dengan pengguna rokok elektrik tertinggi di dunia. 

Adanya peningkatan penggunaan rokok elektrik ini pula sangat berimplikasi pada naiknya jumlah pasien yang terkena kanker paru-paru. Seperti yang kita tahu bahwa rokok merupakan faktor risiko utama penyebab terkena kanker paru-paru. 

Kemenkes mencatat bahwa sekitar 34 ribu pasien kanker paru-paru di Indonesia. Melihat adanya peningkatan penggunaan rokok elektrik tersebut, pemerintah melalui instrumen fiskal berupa pengenaan cukai terhadap rokok elektrik sebagai upaya untuk menekan angka konsumsi rokok elektrik di Indonesia.

Pada dasarnya, tujuan pemungutan cukai ialah sebagai peluang untuk kepentingan penerimaan negara (budgetair) dan sebagai pembatasan dalam rangka perlindungan masyarakat, salah satunya dalam bidang kesehatan. Namun, dalam halnya kenaikan cukai rokok elektrik tidak memberikan dampak yang signifikan terhadap penurunan konsumsi rokok elektrik. 

Meskipun demikian, pemberlakuan kenaikan cukai rokok elektrik ini meningkatkan penerimaan negara melalui penghimpunan cukai. 

Peluang yang Diciptakan oleh Kenaikan Cukai Rokok Elektrik

Berlakunya kenaikan tarif cukai rokok elektrik ini memberikan peluang bagi peningkatan pendapatan negara dari sektor perpajakan yakni cukai. Cukai disini sebagai instrumen fiskal yang berguna untuk menambah penerimaan negara, dalam hal ini sesuai dengan konsep pajak sebagai budgeter. 

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Universitas Indonesia, penerimaan dari cukai tembakau, termasuk rokok elektrik, memberikan kontribusi yang signifikan terhadap anggaran pendapatan negara. 

Pada tahun 2021, target penerimaan Cukai Hasil Tembakau (CHT) dilaporkan meningkat sebesar 4,7 persen dibandingkan dengan tahun sebelumnya, menunjukkan efektivitas kebijakan cukai dalam memperkuat penerimaan negara?. 

Peran kebijakan fiskal disini untuk menekan adanya prevalensi penggunaan rokok elektrik. Sebagaimana fungsi pajak regulerend, di mana disini pemberlakuan kenaikan cukai rokok elektrik ini mempunyai tujuan untuk mengurangi konsumsi rokok elektrik dengan meningkatnya harga produk rokok elektrik itu sendiri. Sebagaimana sesuai dengan teori ekonomi, yakni hukum permintaan. 

Menurut teori hukum permintaan, kenaikan harga suatu barang cenderung menyebabkan penurunan jumlah permintaan, dan sebaliknya. Prinsip ini relevan dengan kebijakan Cukai Hasil Tembakau (CHT) termasuk pada rokok elektrik, di mana penerapan tarif cukai secara langsung memengaruhi harga rokok. 

Hal ini sesuai dengan konsep ceteris paribus, yang menyatakan bahwa dalam kondisi tetap, harga merupakan satu-satunya faktor yang memengaruhi tingkat konsumsi rokok elektrik (Firdaus).

Cukai rokok elektrik menjadi peran strategis dalam mendukung kebijakan kesehatan nasional dengan berfokus pada pengendalian konsumsi yang dapat memberikan dampak negatif terhadap kesehatan masyarakat. 

Melalui peningkatan harga akibat penerapan tarif cukai, pemerintah tidak hanya berupaya mengurangi daya tarik produk ini tetapi juga memberikan pesan tegas tentang risiko kesehatan yang ditimbulkannya. 

Selain menjadi instrumen fiskal, kebijakan cukai rokok elektrik juga sejalan dengan rekomendasi World Health Organization (WHO), yang menyarankan agar harga produk tembakau dinaikkan hingga mencapai minimal 70 persen dari harga eceran. 

Pendekatan ini telah terbukti efektif di berbagai negara sebagai salah satu strategi utama untuk menurunkan prevalensi penggunaan produk tembakau, termasuk rokok elektrik. Dengan demikian, kebijakan ini tidak hanya memberikan manfaat ekonomi berupa peningkatan pendapatan negara tetapi juga berkontribusi signifikan dalam melindungi kesehatan masyarakat dari dampak jangka panjang konsumsi rokok elektrik.

Hambatan yang Diciptakan dari Kenaikan Cukai Rokok Elektrik
 
Berlakunya kebijakan kenaikan tarif cukai rokok elektrik ini memberikan dampak terhadap peningkatan harga rokok elektrik yang semakin mahal. Akibatnya, banyak peredaran rokok ilegal di kalangan masyarakat saat ini. Rokok ilegal sering dijumpai dengan rokok tanpa pita cukai atau dengan pita cukai palsu sering menjadi alternatif bagi konsumen yang tidak mampu membeli produk resmi. 

Fenomena ini tidak hanya mengurangi efektivitas kebijakan dalam mengendalikan konsumsi, tetapi juga menyebabkan kerugian penerimaan negara karena produk ilegal tidak membayar cukai?. Sehingga maraknya rokok ilegal ini perlu adanya sinergi dari semua pihak yang tergabung, mulai dari perindustrian, perdagangan dan pemda setempat.

Selain itu pemberlakuan kebijakan ini berdampak pada market share secara langsung. Kebijakan untuk cukai rokok elektrik ini berbeda halnya dengan rokok konvensional yang bersifat padat karya akan tetapi bersifat padat teknologi. Tenaga kerja yang diperlukan dalam memproduksi rokok elektrik ini tidak memerlukan sebanyak rokok konvensional. 

Hal tersebut sesuai yang dikemukakan oleh Yanuar Widianto, Kepala Pusat Kebijakan Pendapatan Negara Badan Kebijakan Fiskal bahwa, kebijakan ini tidak berdampak secara signifikan untuk tenaga kerja pada rokok elektrik ini. 

Oleh karena itu kebijakan ini dirumuskan sebagai salah satu upaya pemerintah untuk menekan prevelensi penggunaan rokok elektrik, dimulai dari mengganti penggunaan yang lebih terjangkau atau tidak menggunakan sama sekali. 

Regulasi dan Rekomendasi

Implementasi kebijakan ini memberikan dilema yang besar bagi negara, disatu sisi efektivitas kebijakan belum efektif sepenuhnya terjadi, dan disisi lain pula dengan kebijakan ini proporsi sumber terbesar penerimaan negara. Ketergantungan negara melalui kebijakan ini menjadi erat hubungannya dengan teori pigouvian tax. 

Dalam konsep ini idealnya digunakan untuk menginternalisasi biaya sosial eksternalitas negatif, seperti dampak kesehatan dari rokok elektrik. Apabila cukai berhasil menekan konsumsi, pendapatan dari sektor ini akan menurun, bertentangan dengan tujuan fiskal. 

Untuk menyelaraskan tujuan pengendalian eksternalitas dan stabilitas anggaran, pemerintah perlu mendiversifikasi sumber pendapatan, sehingga fungsi cukai sebagai alat pengendalian tetap efektif tanpa menimbulkan ketergantungan jangka panjang.

Dalam hal pengelolaan dana yang dihimpun dari pengenaan cukai rokok elektrik, diperlukan manajemen yang transparan dan akuntabel agar manfaatnya dapat dirasakan langsung oleh masyarakat. 

Sebagai contoh, Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) melalui Bea Cukai Purwakarta bersama Pemerintah Daerah Karawang telah berhasil memanfaatkan Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau (DBH CHT) untuk merealisasikan pembangunan Rumah Sakit Paru Karawang. Langkah ini merupakan contoh positif dalam pengelolaan dana hasil cukai yang tepat sasaran. 

Oleh karena itu, pendekatan serupa dapat diterapkan pada pengelolaan dana hasil cukai rokok elektrik, sehingga memberikan kontribusi nyata bagi masyarakat.rmol news logo article

Artikel ditulis Tazkia Putri Aisyah,dan Indah Syahira Siagian
Mahasiswa Ilmu Administrasi Fiskal, Universitas Indonesia

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA