Laporan Moody's Analytics, yang dirilis baru-baru ini, memproyeksikan produk domestik bruto (PDB) global tumbuh 2,4 persen pada 2025 dan 2026, turun dari tahun sebelumnya yang tercatat 2,7 persen.
Moody's mengatakan, perekonomian global memasuki wilayah yang genting.
"AS telah mengungguli negara lain selama hampir tiga tahun terakhir, tetapi celah-celah mulai terlihat. Prospek drama batas utang baru dan government shutdown di AS dapat menambah kekacauan," tulis Moody's, seperti dikutip dari
TheEdge, Jumat 14 Maret 2025.
Ramalan suram semakin condong ke sisi negatifnya. Ekonomi dunia terlihat semakin rapuh, dan tidak perlu banyak hal untuk menjungkirbalikkannya.
"Tarif yang lebih tinggi, meningkatnya gesekan perdagangan dan geopolitik, serta perdagangan di pasar keuangan yang bergejolak, adalah kekhawatiran utama," kata Moody's.
China, negara dengan perekonomian terbesar kedua di dunia, diperkirakan akan mengalami perlambatan pertumbuhan PDB menjadi 4,2 persen di tahun 2025, dan 3,8 persen di tahun 2026.
Tekanan perang dagang dan tantangan struktural membuat target pertumbuhan Beijing yang ambisius sebesar 5 persen menjadi lebih sulit untuk dicapai.
Moody's mencatat bahwa meskipun pemerintah China telah menetapkan target pertumbuhan "sekitar 5 persen" untuk tahun 2025, pencapaiannya akan semakin sulit pada saat ketegangan perdagangan China dan AS meningkat.
Sementara itu, pertumbuhan di Eropa dan Jepang akan mengalami sedikit perbaikan. Pemulihan yang lambat dan tidak merata membantu mereka mendapatkan kembali posisinya.
"Pertumbuhan PDB India akan bertahan stabil, sedikit di bawah 6,5 persen pada tahun 2025 dan 2026, kurang lebih sejalan dengan hasil tahun 2024," lanjut Moody's.
Sebagian besar emerging market akan mengalami kesulitan, karena perdagangan menjadi mesin pertumbuhan yang kurang dapat diandalkan, katanya.
BERITA TERKAIT: