Dikatakan Dosen Fakultas Hukum Universitas Trisakti, Bhatara Ibnu Reza, perubahan yang akan menjadikan Kejaksaan sebagai pusat otoritas dalam penanganan perkara pidana, berisiko bagi sistem peradilan pidana terpadu.
Bhatara menjelaskan, konsep Dominus Litis yang memberikan kewenangan mutlak kepada Jaksa dalam penyidikan sebagaimana dimuat dalam RUU Kejaksaan menimbulkan kekhawatiran akan terjadinya konflik kepentingan dalam sistem peradilan pidana.
"Jika Jaksa diberikan kewenangan penuh dalam penyidikan, mereka tidak hanya bertindak sebagai penuntut dalam perkara pidana, tetapi juga memiliki kendali atas proses penyelidikan yang sebelumnya menjadi ranah Kepolisian," kata Bhatara kepada wartawan, Jumat 14 Maret 2025.
Menurutnya, hal ini dapat mengurangi prinsip check and balance dalam sistem hukum, di mana sebelumnya terdapat pembagian kewenangan antara penyidik di Kepolisian dan penuntut umum sebagai peran Kejaksaan.
Jika jaksa memiliki otoritas absolut dalam penyidikan dan penuntutan, sambungnya, maka ada potensi penyalahgunaan wewenang, terutama dalam kasus-kasus yang melibatkan kepentingan negara.
"Misalnya, dalam uji materi terhadap suatu peraturan atau kebijakan pemerintah di Mahkamah Konstitusi (MK), Jaksa akan bertindak sebagai Pengacara Negara yang mewakili kepentingan pemerintah," tuturnya.
Di sisi lain, masih kata Bhatara, jika dalam kasus yang sama Kejaksaan juga memiliki peran sebagai pihak yang menegakkan hukum terhadap individu atau kelompok yang menggugat negara, di sini lah muncul pertanyaan mengenai independensi Kejaksaan dan keadilan dalam sistem peradilan.
"Karena jaksa akan mewakili 2 entitas yang memiliki kepentingan berbeda," pungkasnya.
BERITA TERKAIT: