Namun, optimisme yang tinggi tak cukup menjawab persoalan kemiskinan karena kemiskinan bukan soal guratan takdir yang secara abstrak digambarkan, paradigma kemiskinan sebagai konsekuensi vertikal dari Aang Maha Kuasa memberikan kesan bahwa semua telah diatur tanpa dapat diubah, sehingga lupa bahwa kemiskinan juga merupakan tanggung jawab otoritas bangsa.
Kemiskinan tak hanya soal kultural dan produk tradisional yang dihasilkan dari cara kerja manusia dalam berkehidupan, tetapi kemiskinan juga hasil dari tangan-tangan manusia lewat kerangka kerja konstruksi struktural yang dituangkan dalam beragam kebijakan.
Dibutuhkan rumusan normatif yang terserap ke dalam sistem nilai dan ideologi bangsa. Memahami bahwa kemiskinan lahir dari system error dan paradigma, maka kesadaran kritis terhadap sistem perlu ditanamkan. Pasalnya, kemiskinan lahir sebagai manifestasi gagalnya upaya negara dalam menjamin kehidupan yang sejahtera. Rahim sistem yang penuh dengan kegelisahan birokrasi akan berimbas pada buruknya aksesibilitas dan rentannya ketimpangan sosial.
Distribusi yang terhambat akibat dari keserakahan segelintir orang-orang yang tak bertanggungjawab hingga buruknya mentalitas masyarakat dalam mengusahakan kesejahteraan sosial merupakan refleksi kejumudan yang merupakan produk dilematis kebijakan otoritas nasional.
Berangkat dari sistem kesejahteraan sosial, maka usaha kesejahteraan sosial perlu dikaitkan dengan nilai-nilai tranformatif yang adaptif sepanjang masa sehingga mampu menjadi penunjang usaha kesejahteraan sosial yang berkelanjutan.
Realitas kemiskinan yang dihadapi bangsa saat ini merupakan bukti bahwa sistem yang digunakan belum berhasil atau dapat dikatakan telah alot untuk dipakai berkelanjutan, terlalu konservatif, dan stagnan bila terus-menerus menggunakan sistem yang telah usang dalam mengatasi permasalahan kesejahteraan sosial.
Nilai-nilai praktis yang terkandung seyogyanya tak lagi hanya bersifat implusif yang timbul dari potensi afektif yang tinggi, melainkan juga diartikan sebagai upaya secara sadar dan instrumental guna menghadirkan kehidupan yang hikmat berlandaskan ideologi.
Kemiskinan yang terus-menerus bertransfigurasi menjadi beragam bentuk bahkan berkembang secara aseksual menggerogoti nasib bangsa di masa yang akan datang yang kian mengkhawatirkan. Menjawab persoalan kemiskinan yang mengakar, penting bagi negara menyadari bahwa rekonstruksi sistem sebagai penunjang kebijakan diperlukan, guna mengentas kemiskinan secara efektif dan menyadari bahwa kemiskinan adalah anomali cita-cita bangsa yang melemahkan mentalitas masyarakat agar selalu optimis dalam mengusahakan kesejahteraan sosial.
Penjelasan di atas adalah indikasi kebutuhan bangsa terhadap ideologi praktis yang ideal sebagai pondasi pokok dalam mengentaskan kemiskinan.
Dalam hal ini, ideologi Islam telah mengatur kehidupan yang sejahtera bahkan jauh sebelum berkembangnya ilmu kesejahteraan sosial di dunia.
Peradaban Emas IslamLembaran sejarah sebagai bukti empiris bahwa peradaban Islam mengalami akselerasi konstruksi politik yang monumental pada masanya. Zaman ketika kegelapan dan kemunduran menenggelamkan bangsa Eropa Barat, Islam telah lebih dulu terbang menguasai cakrawala dunia dan meninggalkan sebagian besar bangsa yang masih berjalan di tempat.
Namun, pascakemunduran Islam pada abad ke-13, algoritma sejarah telah dikuasai global. Elite global yang kini berkuasa, telah lama menyimpan kedengkian pada idealisme peradaban Islam yang dulu pernah menguasai �" dunia, sehingga ritme narasi yang dibangun saat ini menunjukkan bahwa adanya pembungkaman sejarah peradaban Islam secara sistematis.
Kepemimpinan dalam IslamIslam memiliki mekanisme sistematis dalam menyejahterakan rakyat dengan menjamin terpenuhinya kebutuhan pokok, sehingga tidak ada rakyat yang khawatir miskin dan kelaparan. Faktor utama dalam keberlangsungan sistem ini adalah adanya figur pemimpin yang menyadari bahwa tanggung jawab kepemimpinan tak hanya berhenti sampai di dunia, melainkan juga pada pengadilan agung kelak di hari pertanggungjawaban.
Instrumen teologis inilah yang menjadi penguat para pemimpin pada masa keemasan Islam agar senantiasa berkomitmen dalam mewujudkan kemaslahatan rakyat.
Dalam Islam, seorang pemimpin atau imam memiliki tanggungjawab besar. Memahami bahwa tanggungjawab yang diemban bukan hanya urusan pribadi, melainkan urusan rakyat yang kelak akan diminta pertanggungjawaban.
Nabi SAW bersabda: “Imam (Kepala Negara) itu laksana penggembala, hanya dialah yang bertanggung jawab terhadap urusan rakyatnya.â€
Dengan demikian, Islam mengecam keras bagi siapa saja pemimpin yang lalai, curang, dan menipu rakyatnya karena konsep kepemimpinan Islam bukan menjadikan kepemimpinan sebagai alat dalam meraih keuntungan dan kemenangan, melainkan sebuah hujjah yang kelak akan menolong dirinya dan rakyatnya. Allah pun memberi jaminan berupa naungan di hari akhir kelak bagi pemimpin yang adil.
Cara Islam Menyejahterakan RakyatSeluruh perangkat kehidupan diatur oleh Islam, dari hal mikro yang cakupannya hanya individu hingga hal makro yang cakupannya negara. Bila masuk kamar mandi saja diatur, maka mustahil bila Islam tak mengatur hal makro seperti birokrasi, politik, hukum pidana, hukum keluarga begitu pula ekonomi.
Dalam Islam, kebutuhan dasar rakyatnya dijamin oleh pemerintah, dimana setiap individu dipastikan dapat memenuhi seluruh kebutuhan dasar, sehingga Islam mewajibkan setiap laki-laki yang baligh, berakal, dan mampu untuk bekerja keras guna memenuhi kebutuhan dasarnya seperti papan, pangan, dan sandang.
Pemerintah pun tak berlepas tangan, sehingga wajib menyediakan lapangan kerja, seperti sebidang tanah untuk diolah rakyatnya, pemberian modal, dan membuka lapangan kerja di berbagai lini merupakan usaha nyata dalam menyejahterakan rakyat secara mandiri berkelanjutan, termasuk pelatihan penunjang seperti pelatihan keterampilan yang dibutuhkan dalam dunia industri, bisnis, dan jasa semuanya dijamin oleh pemerintah.
Mekanisme ekonomi yang diterapkan merupakan support system yang membangun ekosistem sejahtera yang berkesinambungan. Kebijakan-kebijakan tersebut membangun mentalitas masyarakat yang daya tahan dan mandiri, sehingga optimisme melawan kemiskinan pun meningkat.
Jika mekanisme ekonomi tidak berjalan secara optimal, Islam telah mengatur mekanisme nonekonomi khususnya bagi sebagian masyarakat yang rentan terdampak kemiskinan yang telah memenuhi kriteria, seperti orang yang kehilangan akal, lansia, disabilitas, anak-anak terlantar, dan janda. Islam telah mengatur skema sedekah yang sistematis, seperti infak, zakat, dan wakaf. Skema sedekah tersebut membangun atmosfer masyarakat yang empati dan peduli pada sesama, masyarakat madani yang mandiri, dan militan membangun kesadaran integritas guna menjalin kehidupan yang damai dan harmonis.
Selanjutnya, adanya sistem kebijakan ekonomi selain mekanisme ekonomi yang diterapkan guna mencapai kesejahteraan sosial, Islam pun telah mengatur sistem kebijakan ekonomi yang tercakup pada 3 aspek antara lain:
1. Kepemilikan, yaitu kepemilikan pribadi, umum, dan negara. Kepemilikan tersebut telah diatur dan ditetapkan oleh syariat, sehingga dapat dimanfaatkan secara optimal, sebagai contoh, pertambangan, batu bara, minyak, dan gas adalah kepemilikan umum yang harus dikelola oleh negara demi kemaslahatan rakyat, tidak boleh diprivatisasi ataupun dimiliki oleh negara. Adapun contoh kepemilikan pribadi, seperti rumah yang tidak bisa diakui milik negara ataupun dijadikan tempat umum.
2. Pemanfaatan kepemilikan (Tasharuf) baik dengan cara membelanjakan ataupun mengembangkan kepemilikan, sehingga sumber daya yang dimiliki dapat produktif dan dapat menjadi penunjang kesejahteraan.
3. Distribusi kekayaan, dapat dikatakan bahwa distribusi kekayaan inilah menjadi kunci dari segala masalah ekonomi, ketimpangan ekonomi, dan sosial di tengah masyarakat yang terjadi akibat tiadanya keberlangsungan distribusi kekayaan. Dengan demikian, Islam melarang penimbunan harta seperti emas, perak, dan mata uang.
Hal ini tidak lain agar harta terus berputar di tengah masyarakat, sehingga roda perekonomian dapat bergerak dan berkembang. Keberlangsungan sistem distribusi kekayaan ini ditunjang dengan kebijakan ekonomi yang ideal yaitu dengan memastikan dua hal: produksi dan distribusi.
Sistem ekonomi Islam memastikan agar tingkat produksi domestik negara tinggi, dengan mengembangkan sumber perekonomian yaitu: perdagangan, pertanian, industri, dan jasa. Dalam hal ini, negara perlu memastikan seluruh sumber tersebut dapat produktif guna menunjang terwujudnya kesejahteraan sosial, sehingga dinamika ekonomi yang stabil dapat menjamin keberlangsungan aktivitas ekonomi masyarakat, yaitu produksi, distribusi, dan konsumsi.
Dengan demikian, negara melarang sewa lahan pertanian atau menelantarkan lahan pertanian lebih dari 3 tahun. Negara juga melarang praktik riba dan kecurangan seperti kartel, monopoli komoditas oleh pribadi ataupun swasta, dan hegemoni negara asing terhadap kegiatan produksi domestik. Hal itu dilakukan demi menjamin kemaslahatan rakyat.
Selanjutnya adalah distribusi. Tanpa hal ini, betapapun hebatnya tingkat produksi negara, barang dan jasa yang dihasilkan oleh produktivitas negara tidak akan berdampak pada kemakmuran. Dalam sistem pemerintahan Islam, distribusi adalah faktor utama dalam mencapai keberhasilan ekonomi dengan eskalasi aksesibilitas birokrasi dan distribusi yang sistematis, sehingga setiap individu dapat dipastikan telah terpenuhi segala kebutuhan dasarnya.
Dengan demikian, kegemilangan peradaban Islam yang pernah diraih hingga mencapai 13 abad lamanya merupakan manifestasi keberhasilan Islam dalam menyejahterakan rakyatnya. Corak kepemimpinan dan mekanisme kebijakan yang amat mencerminkan keadilan sungguh jauh dari apa yang diterapkan saat ini. Kemerdekaan secara fisik hanyalah topeng yang menutupi penderitaan akibat hegemoni negeri asing.
Konsep kemandirian yang saat itu diterapkan oleh Pemerintah Islam dengan berusaha keras menciptakan mekanisme ekonomi yang hidup dan produktif.
Neoimperalisme yang tengah membelenggu negara, kini semakin mencegah negara secara mandiri untuk berkembang. Aktivitas ekonomi yang didesain sengaja untuk membuat negara ketergantungan terhadap asing, sehingga konsep penjajahan gaya baru telah kian mengkhawatirkan.
Oleh karena itu, perlu bagi masyarakat untuk menyadari akan pentingnya menerapkan sistem kesejahteraan Islam yang independen tanpa balutan negosiasi asing sehingga terhindar dari genggaman neoimperalisme dan neoliberalisme. Ketika negara telah menerapkan sistem kesejahteraan sosial berbasiskan Islam, maka kemiskinan akan terasa jauh dari dipelupuk mata.
Penulis adalah mahasiswi Kesejahteraan Sosial Universitas Muhammadiyah Jakarta (UMJ)
BERITA TERKAIT: