Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

2020 Tahun Yang Berbahaya Bagi Wartawan

 LAPORAN: <a href='https://rmol.id/about/amelia-fitriani-1'>AMELIA FITRIANI</a>
LAPORAN: AMELIA FITRIANI
  • Rabu, 30 Desember 2020, 22:12 WIB
2020 Tahun Yang Berbahaya Bagi Wartawan
Kebebasan pers menjadi ancaman nyata bagi wartawan di seluruh dunia pad tahun ini/Net
rmol news logo Wartawan menjadi profesi yang semakin berbahaya di seluruh dunia, tidak terkecuali di Amerika Serikat pada tahun 2020 ini.

Bukan tanpa alasan, pasalnya, dengan pandemi global dan kerusuhan sosial yang meluas yang terjadi sepanjang tahun ini, lebih banyak wartawan yang dijebloskan ke dalam penjara. Tidak tanggung-tanggung, survei tahunan dari Committee to Protect Journalists (CJP) menunjukkan, sejak awal tahun 2020 hingga 1 Desember 2020, ada 274 wartawan yang dijebloskan ke penjara di seluruh dunia. Jumlah ini lebih besar dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya.

Salah satu faktor utama yang mendorong represi semacam itu adalah pandemi Covid-19. Sejumlah wartawan ditangkap dan dijebloskan ke dalam penjara karena melaporkan soal pandemi. Bahkan setidaknya ada dua wartawan yang meninggal dunia setelah tertular Covid-19 di dalam penjara.

Selain Covid-19, faktor lainnya yang juga berperan dalam melonjaknya jumlah wartawan yang dipenjarakan tahun ini adalah pergolakan politik yang terjadi di sejumlah negara. Di Belarus misalnya, sedikitnya 10 wartawan dipenjara karena meliput soal pergolakan politik yang terjadi di negara tersebut.

Di Ethiopia, ada setidaknya tujuh wartawan yang ditangkap karena alasan sejenis. Bahkan yang mencengangkan, penangkapan puluhan wartawan juga terjadi di Amerika Serikat. Mereka didakwa secara kriminal. Selain itu ada sekitar 300 wartawan lainnya yang mengalami penyerangan di negeri Paman Sam pada tahun ini.

Merujuk pada US Press Freedom Tracker, dalam banyak kasus, wartawan dan fotografer diserang oleh polisi saat meliput protes Black Lives Matter yang terjadi di Amerika Serikat tahun ini. Meski tidak ada wartawan Amerika Serikat yang ditangkap pada saat survei itu dilakukan, namun puluhan lainnya masih menghadapi ancaman kriminal.

Masih merujuk pada laporan yang sama yang dirilis CJP, China masih menempati urutan pertama sebagai "penjara wartawan" terbesar dunia, disusul oleh Turki, Mesir dan Arab Saudi.

Di China, masih kata laporan CJP, di antara puluhan wartawan yang ditangkap, tiga di antaranya dipenjara karena liputan yang merusak narasi resmi tentang munculnya virus corona baru.

Salah satu wartawan video, yakni Zhang Zhan, memposting laporan dari Wuhan, tempat virus pertama kali menyebar, di Twitter dan YouTube pada awal Februari. Alih-alih dihormati karena pekerjaan terobosan, sebagaimana seharusnya, dia justru ditangkap pada 14 Mei 2020.

Nasib nahas juga dialami oleh seorang wartawan veteran di Mesir bernama Mohamed Monir. Dia mengkritik penanganan pandemi yang dilakukan oleh rezim Abdel Fatah al-Sissi. Hal ini berbuntut pada penangkapan Monir pada 15 Juni atas tuduhan menyebarkan berita palsu, menyalahgunakan media sosial, dan bergabung dengan kelompok teroris.

Saat mendekam di dalam penjara, Monir tertular Covid-19. Dia pun kemudian dibebaskan, namun tidak lama setelah itu dia meninggal dunia, tepatnya pada tanggal 13 Juli 2020.

Menurut CPJ, seperti dikabarkan The Washington Post, setidaknya dua wartawan Mesir lainnya ditangkap karena melaporkan virus tersebut. Tuduhan yang sering dilakukan pihak berwenang di sana dan di tempat lain adalah menyebarkan berita palsu.

Retorika "berita palsu" semacam ini juga kerap disampaikan oleh Presiden Amerika Serikat Donlad Trump di hadapan publik. Merujuk pada data CJP, setidaknya ada 34 wartawan yang dipenjara karena tuduhan berita palsu di seluruh dunia pada tahun ini.

Sementara itu, Turki dulu sempat memimpin di ranah dunia dalam hal pemenjaraan wartawan. Namun kini Turki berada di urutan kedua, setelah China.

Sayangnya, alasan di balik penurunan jumlah wartawan yang ditangkap di Turki justru sangat mengecewakan.

"Karena penutupan outlet (berita), pengambilalihan oleh pebisnis pro-pemerintah, dan permusuhan yudisial telah secara efektif memberantas media arus utama (di Turki)," kata laporan CPJ.

"Turki telah memungkinkan lebih banyak wartawan menunggu persidangan di luar penjara," sambung laporan yang sama.

Salah satu wartawan yang masih dipenjara adalah Fevzi Yazici, mantan direktur desain surat kabar Zaman, yang ditangkap pada Juli 2016.

Menurut laporan pada bulan Mei oleh Greg Manifold dari The Post, Yazici ditahan di sel isolasi. Dia sekarang telah mengasingkan diri selama lebih dari tiga tahun.

Meski begitu, CJP menaruh harapan, terutama dalam kasus di Amerika Serikat,presiden terpilih Joe Biden akan mampu mengubah iklim global tentang kebebasan pers dengan menegaskan kembali kepemimpinan Amerika Serikat.

"(Dengan) memastikan pertanggungjawaban atas serangan domestik terhadap jurnalis serta menginstruksikan diplomat di luar negeri untuk menghadiri persidangan jurnalis dan berbicara untuk mendukung media independen," sambung laporan CJP itu.

Biden sendiri dalam kampanyenya kerap mengatakan bahwa dia akan memulihkan hak asasi manusia sebagai prioritas kebijakan luar negeri Amerika Serikat. Termasuk di antaranya adalah mengadvokasi wartawan yang dipenjara. rmol news logo article

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA