Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Tragedi Semanggi (bagian II)

Penantian Dua Puluh Dua Tahun

 OLEH: <a href='https://rmol.id/about/republikmerdeka-id-5'>REPUBLIKMERDEKA.ID</a>
OLEH: REPUBLIKMERDEKA.ID
  • Kamis, 10 Desember 2020, 12:43 WIB
Penantian Dua Puluh Dua Tahun
Spanduk peringatan Tragedi Semanggi di Kampus Universitas Atmajaya tahun 2019/Net
rmol news logo Upaya pengungkapan menyeluruh tragedi Trisaksi, Semanggi I dan II memang punya sejarah panjang. Peristiwa berdarah yang merenggut nyawa sejumlah mahasiswa pada awal era reformasi itu, hingga kini masih gelap, siapa dalangnya.  

Tragedi Semanggi I dan II hanyalah sebagian dari setidaknya sembilan berkas kasus pelanggaran HAM yang diserahkan Komnas HAM ke Kejaksaan Agung. Namun, hingga kini berkas tersebut belum diproses lebih lanjut.

Tragedi Semanggi I terjadi pada 11-13 November 1998, saat demonstrasi besar-besaran mahasiswa memprotes digelarnya Sidang Istimewa (SI) MPR. Dalam kericuhan tersebut, sebanyak 18 orang tewas dan ratusan terluka.

Sementara Tragedi Semanggi II terjadi pada September 1999, ketika massa menolak keberadaan Rancangan Undang-undang Penanggulangan Keadaan Bahaya (PKB), sebuah aturan yang oleh para demonstran dianggap sebagai upaya mengembalikan supremasi Orde Baru dan kekerasan aparat. Tercatat sebanyak 11 orang meninggal dunia dalam protes tersebut.

Dalam pengungkapannya, Kasus Trisakti, Semanggi I dan II hanya menyeret enam orang terdakwa ke pengadilan Umum. Mereka didakwa melakukan penembakan terhadap mahasiswa Trisakti dan kemudian dinyatakan bersalah dan mendapatkan hukuman 2-10 bulan pada 31 Maret 1999.

Selanjutnya pada 3 tahun kemudian, tepatnya Januari 2002, sebanyak 9 terdakwa lain disidangkan di Mahkamah Militer. Mereka dijatuhi hukuman penjara antara 3-6 tahun penjara pada Januari 2002.

Serangkaian hukum terhadap pelaku di lapangan tidak membuat puas keluarga korban dan para aktivis HAM.  Komnas HAM mengatakan, penegakan hukum dalam kasus ini sejauh ini hanya memberikan hukuman kepada para pelaku lapangan, dan bukan komandannya.

Sebelumnya, atas desakan mahasiswa dan keluarga korban, pada tahun 2000, DPR membentuk Panitia Khusus Kasus Trisakti, Semanggi I dan II (Pansus TSS).

Pada 9 Juli 2001, Rapat paripurna DPR RI mendengarkan hasil laporan Pansus TSS yang disampaikan Sutarjdjo Surjoguritno. Dalam laporan itu, tiga fraksi yakni  Fraksi PDI P, Fraksi PDKB dan Fraksi PKB menyatakan dalam kasus Trisakti, Semanggi I dan II terjadi unsur pelanggaran HAM Berat.

Sedangkan 7 fraksi lainnya yakni Fraksi Golkar, Fraksi TNI/Polri, Fraksi PPP, Fraksi PBB, Fraksi Reformasi, Fraksi KKI, Fraksi PDU menyatakan tidak terjadi pelanggaran HAM berat pada kasus TSS. Pansus TSS merekomendasikan penyelesaian kasus itu melalui jalur pengadilan umum dan pengadilan militer.

Para pengiat HAM tidak puas atas keputusan politik itu. Selanjutnya pada tahun yang sama (2001), Komnas HAM mulai melakukan penyelidikan kasus Trisakti, Semanggi I dan II dengan membentuk Komite Penyelidik Pelanggaran HAM  Trisakti Semanggi I dan II. Selain itu,  mahasiswa juga membantu Komnas HAM untuk mengumpulkan bukti dan saksi kasus penembakan tersebut.

"Kami mengumpulkan saksi, siapa yang menemukan barang bukti dan banyak saksi dari mahasiswa itu yang kami wawancara," jelas John, seorang mahasiswa yang menguasai gedung MPR/DPR pada 19 Mei 1998 menuntut reformasi dan pengunduran diri Soeharto dari kursi kepresidenan.

Berdasarkan laporan hasil penyelidikan KPP HAM menyimpulkan terdapat bukti-bukti permulaan yang cukup telah terjadi pelanggaran HAM berat dalam peristiwa Trisakti, Semanggi I dan Semanggi II.

KPP HAM Trisakti menyimpulkan 50 perwira TNI/Polri diduga terlibat dalam pelanggaran HAM berat.

Pada April 2002, sesuai dengan UU No. 26 tahun 2000, Komnas HAM menyerahkan hasil penyelidikan tersebut kepada Kejaksaan Agung untuk dilakukan penyidikan lebih lanjut.

Sebulan kemudian, Kejagung meminta Komnas HAM memperbaiki laporan. Alasannya, transkrip wawancara harus dijadikan BAP, berkas kasus dipisahkan hingga meminta penyelidik disumpah jabatan.

Kecuali sumpah jabatan, kekurangan itu diakui Sekjen Komnas HAM Asmara Nababan. Fungsi penyelidikan tak mewajibkan pembuatan BAP. Solusinya, lanjut Ketua penyelidik Albert Hasibuan, kekurangan itu disempurnakan Jaksa Agung.  

Jaksa Agung tetap ngotot. Akhirnya Komnas HAM memperbaiki dan menyerahkan lagi hasil penyelidikan itu kepada ke Jaksa Agung. Tapi, pada 13 Agustus 2002, berkas penyelidikan itu dikembalikan lagi. Kali ini Kejagung memasalahkan sumpah penyelidik dan urgensi penyelidikan, sambil menyatakan kasus Trisakti dibawa ke Mahkamah Militer. Kasus Semanggi I-II masih dalam proses Polisi Militer.

Khawatir dikembalikan lagi, rapat paripurna Komnas HAM, 3 September 2002 memutuskan untuk menolak permintaan Jaksa Agung. Alasannya, sumpah jabatan penyelidik tak dikenal undang-undang. Sesuai KUHAP, penyelidikan wajib ditindaklanjuti Jaksa Agung selaku penyidik.

Pada Maret 2003, Kejaksaan Agung menyatakan menolak untuk melakukan penyidikan Kasus Trisakti, Semanggi I dan II. Alasannya, prinsip ne bis in idem. Perkara yang sama tidak dapat diadili dua kali.

Kejagung beralasan, kasus Trisaksi dan Semanggi sudah disidangkan melalui pengadilan militer 1999. Sehingga, Kejagung tidak dapat mengajukan kasus yang sama ke pengadilan.

Kejagung bersikukuh tidak akan melakukan penyidikan lebih lanjut terkait rekomendasi Komnas HAM tersebut sebelum terbentuknya pengadilan HAM ad hoc.

Pengadilan HAM Ad Hoc itu kemudian menjadi debat kusir tak berujung. Hingga kini, pengadilan itu tak kunjung dibentuk. Puluhan rapat antara DPR, Jaksa Agung dan Komnas HAM soal Pengadilan ad hoc tersebut, hanya berakhir dengan kebuntuan.

Komnas HAM merasa tugasnya sudah selesai melakukan penyelidikan. Sedangkan, Kejaksaan Agung menolak untuk menyidik lebih lanjut hasil penyelidikan Komnas HAM itu sebelum terbentuk Pengadilan HAM ad hoc.

Sementara, DPR yang memiliki hak untuk mengusulkan pembentukan Pengadilan HAM ad hoc, enggan melakukannya. Tetap berpegang pada rekomendasi Pansus TSS tahun 2001 bahwa penyelesaian kasus itu melalui jalur pengadilan umum dan pengadilan militer.

Komisi III DPR juga sempat memutuskan pembentukan Panitia Khusus (Pansus) orang hilang. Namun,  pada 13 Maret 2007, Rapat Badan Musyawarah (Bamus) DPR RI memutuskan tidak akan mengagendakan persoalan penyelesaian tragedi TSS ke Rapat Paripurna. Artinya, penyelesaian kasus TSS tertutup dengan sendirinya dan kembali kepada rekomendasi Pansus sebelumnya.

Menunggu Janji

Optimisme penggiat HAM sempat muncul pada masa awal kepemimpinan Presiden Joko Widodo-Jusuf Kalla. Saat kampanye, keduanya berjanji untuk menuntaskan kasus pelanggaran HAM masa lalu secara berkeadilan. Penuntasan kasus HAM menjadi salah satu prioritas utama pemerintahan mereka untuk mencapai kedaulatan politik.

Bahkan, pada April 2015, Jaksa Agung saat itu, HM Prasetyo mengumumkan rencana pemerintah untuk membentuk Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi untuk menyelesaikan kasus pelanggaran HAM, termasuk kasus penembakan 12 Mei 1998.

Komisi tersebut terdiri dari Kementerian Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan; Kejaksaan Agung; Kepolisian Negara RI, Tentara Nasional Indonesia; Badan Intelijen Negara; serta Komnas HAM.

Tapi, hingga Jokowi-JK mengahiri periode kepemimpinannya, keberadaan Komisi itu belum berhasil menuntaskan persoalan HAM masa lalu.

Pada periode kedua kepemimpinannya, Presiden Jokowi berencana untuk menghidupkan kembali Undang-Undang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) yang pernah disahkan pada 2004.

UU yang mengatur tentang pembentukan komisi khusus untuk menuntaskan kasus-kasus pelanggaran HAM di Indonesia itu telah dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi pada 2006. MK memerintahkan UU tersebut diperbaiki.

Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Polhukam) Mahfud MD mengatakan, pemerintah akan menghidupkan kembali Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2004 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi dengan sejumlah perbaikan.

“Kita dulu sudah pernah ada UU Kebenaran dan Rekonsiliasi. Itu penting untuk dibuka lagi. Kenapa dulu dibatalkan oleh MK, MK memerintahkan supaya dihidupkan tapi diperbaiki isinya,” tutur Mahfud usai dilantik sebagai Menteri Koordinator Bidang Hukum Politik dan Keamanan di Kompleks Istana Kepresidenan Jakarta, 23 Oktober 2019.

Mahfud juga berjanji akan melihat kembali naskah UU tersebut maupun kasus-kasus pelanggaran HAM berat yang belum selesai. “Ada beberapa mungkin yang perlu dilihat kedaluwarsanya kasus itu, kemudian manfaat dan mudaratnya dalam setiap agenda penyelesaian.”

Rancangan UU KKR itu telah diajukan pemerintah dan tengah berproses di DPR. Tapi, proses politik penggodokannya tak secepat, Revisi UU KPK atau UU Ciptakerja.  

Sementara para penggiat HAM masih melihat rencana itu dengan sikap ‘skeptis’. Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) mempertanyakan rencana pemerintah menyelesaikan kasus HAM Trisaki, Semanggi dan berbagai kasus pelanggaran HAM lainnya dengan menggunakan Undang-Undang KKR.

Koordinator LSM Kontras Yati Andriyani mengatakan, jika penyelesaian mengunakan cara rekonsiliasi maka harus ada pengungkapan fakta terlebih dahulu yang menjadi pedoman. Sementara, hingga ini tidak diketahui siapa yang melakukan pelanggaran. Hukum baru menjerat sebatas pelaku lapangan saja.

"Tapi saya masih curiga kalau KKR yang dimaksud pemerintah itu sebenarnya ada rekonsiliasi. Kalau pemerintah langsung pada rekonsiliasi, itu sama saja dengan upaya menutup kasus ini dengan cuci tangan," ujar Yati Andriyani, Rabu, 13 November 2019.

Komisioner Komnas HAM Choirul Anam mengingatkan, meski pemerintah berencana mengusut pelanggaran HAM melalui KKR, para penjahat HAM di masa lalu harus tetap diseret ke pengadilan.

"Kalau ngomong KKR tapi enggak ngomong pengadilan, ini berarti KKR jadi-jadian yang enggak sesuai dengan prinsip HAM," kata Choirul, Kamis, 28 November 2019.

Choirul mengatakan, pemerintah tidak boleh hanya mengedepankan penyelesaian secara non-yudisial dengan tujuan pemberian amnesty atau pengampunan bagi mereka yang dianggap bersalah dalam kasus pelanggaran HAM berat.

“Gaya lama KKR-nya kan gitu yang di UU 27 Tahun 2004. Itu enggak boleh terjadi lagi. KKR yang ideal adalah KKR yang membuka kebenaran," tegasnya.

Apapun langkah yang ditempuh pemerintah, publik menunggu tindakan nyata untuk menuntas persoalan HAM masa lalu, agar tidak menjadi luka bangsa yang berlarut-larut.

Seperti kalimat satire yang terpampang pada spanduk acara peringatan 21 tahun tragedi Semanggi I di kampus Universitas Katolik Atmajaya Jakarta pada Rabu, 13 November 2019. “BERAPA PRESIDEN LAGI SAMPAI PELANGGAR HAM DIADILI?” rmol news logo article

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA