Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Kementerian ATR: Tidak Ada Pasal UU Ciptaker Yang Bisa Merampas Tanah Rakyat

 LAPORAN: <a href='https://rmol.id/about/raiza-andini-1'>RAIZA ANDINI</a>
LAPORAN: RAIZA ANDINI
  • Kamis, 08 Oktober 2020, 17:13 WIB
Kementerian ATR: Tidak Ada Pasal UU Ciptaker Yang Bisa Merampas Tanah Rakyat
Ilustrasi/Net
rmol news logo Pemerintah melalui Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (BPN) membantah kabar UU Cipta Kerja bisa digunakan untuk pemerintah sewenang-wenang merampas tanah atau rumah warga negara.

“Pernyataan para pengamat dan politisi seperti itu sangat tendensius dan bermaksud buruk. Karena tidak ada pasal dalam UU Cipta Kerja yang membenarkan pemerintah merampas tanah tanah rakyat,” ujar Jurubicara Kementerian ATR/BPN, Taufiqul Hadi, Kamis (8/10).
 
Taufiqul Hadi menjelaskan bahwa pasal 121 UU Cipta Kerja tentang pengadaan tanah untuk kepentingan umum sama sekali mengubah makna dan cara penguasaan oleh pemerintah dari UU sebelumnya, yaitu UU 2/2012.

“Jika memang ada perubahan, itu hanya penyesuaian istilah saja,” imbuhnya.

Dalam UU Cipta Kerja, lanjut Hadi, jika ada lahan dan rumah rakyat yang besertifikat akan ditetapkan untuk kepentingan umum, maka sebelum rencana pembangunan fasilitas umum itu dilaksanakan akan dilangsungkan konsultasi publik terlebih dahulu.

“Dalam konsultasi tersebut harus semua pihak sepakat. Jika masyarakat pemilik lahan atau rumah yang bersertifikat itu belum sepakat, maka tidak boleh pemerintah membangun proyek umum apapun di atas lahan rakyat tersebut,” jelasnya.

Hadi mengatakan pada proses konsultasi publik tersebut, pemerintah juga akan menggunakan appraisal independen, sehingga praktek pengadaan tanah untuk kepentingan akan terselenggara sangat fair.

“Harga tanah, bangunan, tanan tumbuh, penghasilan pemilik tanah, jika ada warung misalnya, akan dinilai secara sangat adil oleh appraisal independen tadi. Negara tidak akan mendegradasi praktek yang telah berlangsung sekarang. Sekarang harga tanah yang dibayar berkisar antara dua hingga empat kali harga pasar,” katanya.

“Inilah yang memungkinkan kita membangun tol, pelabuhan, bandara, kereta api dan berbagai infra struktur lain tanpa gejolak dan tanpa penolakan,” tambahnya.

Menurutnya, UU 2/2012 justru sering cenderung menimbulkan masalah. Karena dalam UU tersebut dikenal dengan istilah ganti rugi.

“Rakyat tidak mau rugi. Seharusnya rakyat harus ganti untung. Rakyat menjadi pesimis dengan penggunaan istilah ganti rugi ini. Kini penamaan-penamaan dalam pasal UU Cipta Kerja kita sesuaikan untuk menghindari pesimisme rakyat,” katanya.

Menyinggung soal penitipan uang ganti rugi di pengadilan, yang disebut sebagai konsinyiasi. Hadi mengatakan masalah konsinyiasi ini telah diatur dalam pasal 42  KUH Perdata. Konsinyiasi dalam dalam UU itu dimaksudkan untuk melindungi rakyat yang sedang berperkara.

Misalnya, jika harga tanah sudah disepakati, tetapi di atas objek tanah yang sama terjadi klaim tumpang tindih di antara warga. Maka klaim tumpang tindih tersebut harus diselesaikan di pengadilan.

“Agar pembangunan fasilitas umum bisa terus dijalankan, maka UU mengharuskan pemerintah menitipkan uang di pengadilan (konsinyiasi). Jadi konsinyiasi itu adalah melindungi kepentingan masyarakat,” tandasnya. rmol news logo article

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA