Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Soeharto Dan Label Opsir Koppig

 OLEH: <a href='https://rmol.id/about/republikmerdeka-id-5'>REPUBLIKMERDEKA.ID</a>
OLEH: REPUBLIKMERDEKA.ID
  • Senin, 31 Agustus 2020, 15:00 WIB
Soeharto Dan Label Opsir Koppig
Presiden Soekarno dan Letkol Soeharto/Repro
rmol news logo Presiden Soekarno memerintahkan Letkol Soeharto menangkap Mayjen Soedarsono dalang penculikan Sutan Sjahril. Soeharto menolak perintah itu karena Soedarsono adalah atasannya langsung. Soedarsono akhirnya ditangkap saat menemui Soekarno di Istana Negara Gedung Agung Yogyakarta.

Intuisi militer Letnan Kolonel Soeharto (mantan Presiden Kedua RI) diuji manakala panglima divisinya yaitu Panglima Divisi III Jenderal Mayor Soedarsono bersama beberapa tokoh-tokoh politik seperti Mohammad Yamin, Ahmad Soebardjo, Iwa Kusuma Sumantri, berencana mengkudeta Presiden Soekarno pada 3 Juli 1946. (Baca: Kudeta Gagal 3 Juli 1946)

Pemerintahan Presiden Soekarno yang saat itu pusat pemerintahannya pindah ke Yogyakarta berusaha menangkap dalang penculikan Perdana Menteri Sutan Sjahrir, yakni Jenderal Mayor Soedarsono. Sebab Soedarsono lah yang memerintahkan Komandan batalyon penjaga kota Abdul Kadir Yusuf menculik Perdana Menteri Sutan Sjahrir dan sejumlah anggota kabinet.

Untuk menangkap Soedarsono, Presiden Soekarno menugaskan Letnan Kolonel Soeharto. “Pada 2 Juli 1946, di tengah-tengah suasana yang sedemikian tegang, di Markas Resimen [di] Wiyoro, saya kedatangan Ketua Pemuda Pathuk, Sundjojo namanya. Sundjojo menjadi utusan Istana membawa pesan dari Presiden untuk saya,” cerita Soeharto di buku Soeharto: Pikiran Ucapan dan Tindakan Saya (1989).

Sundjojo sebagai utusan istana bicara panjang lebar soal keadaan negara yang diambang perpecahan termasuk soal keterlibatan Soedarsono dalam upaya kudeta terhadap pemerintahan PM Sjahrir. Setelah itu Sundjojo menyampaikan perintah Presiden Soekarno agar  Soeharto menangkap Soedarsono.

Soeharto yang merupakan bawahan langsung dari Jenderal Mayor Soedarsono, merasa heran dengan perintah itu. “Di mana ada seorang bawahan harus menangkap atasannya sendiri secara langsung, apalagi tidak ada bukti tertulis?” kata Soeharto.(Baca: Kudeta Pertama Yang Dimaafkan)

Tak hanya Sundjojo, bahkan utusan lain dari Istana juga datang. Kali ini sang utusan malah membawa surat perintah Presiden Soekarno. Isi perintah pun sama. Yakni, memerintahkan Soeharto untuk menangkap Soedarsono.

Perintah Presiden Soekarno ditampik oleh Soeharto karena secara hirarki militer, perintah itu harus melalui Panglima Besar, bukan dari Presiden.

Soeharto pun memutuskan untuk mengembalikan surat perintah dan minta agar perintah kepadanya diberikan melalui Panglima Besar Jenderal Soedirman. “Bersamaan dengan itu saya memberi jaminan, segera Resimen III mengadakan siaga penuh untuk menjaga keselamatan Negara dan Kepala Negara Republik Indonesia,” kata Soeharto.

Lantaran tidak mau menjalankan perintah Istana, Presiden Soekarno menjulukinya dengan sebutan opsir koppig  bahasa Belanda yang artinya, perwira keras kepala. 

“Sejam kemudian saya dapat berita lewat telepon dari Sundjojo, bahwa semuanya telah dilaporkan kepada Presiden Soekarno dan saya mendapat predikat istimewa ‘Opsir Koppig’ (Opsir Keras Kepala),” kenang Soeharto.

Di sisi lain, setelah pasukan di Markas Resimen III disiagakan, Letkol Soeharto menghadap Jenderal Mayor Soedarsono, tertuduh kudeta yang merupakan panglima divisinya. Namun Soeharto tidak memberitahukan tentang adanya perintah penangkapan dari Soekarno untuk atasannya itu.

Yang dilaporkan Soeharto adalah "adanya informasi yang belum jelas, yang akan menculik Jenderal Mayor Soedarsono.”

Atas situasi itu,Soeharto menyarankan agar atasannya untuk mengamankan diri di Markas Resimen III di Wiyoro. Soedarsono pun mengikuti saran bawahannya.

Menjelang magrib, mobil Soedarsono tiba di markas resimen III Wiroyo tanpa pengawal. Keluar dari mobil, Soeharto diperlihatkan telegram yang isinya memerintahkan Soedarsono untuk menghadap. Soeharto pun menyertakan pasukan pengawal untuk menjaga Soedarsono yang akan ke Istana.

Menjelang waktu shalat Isya, datang telepon dari Panglima Besar Jenderal Soedirman. Soeharto diminta untuk memberitahu agar Soedarsono tetap di Markas Resimen III saja. Namun, Soedarsono sudah pergi dan baru muncul tengah malam di markas resimen. Kali ini Soedarsono tak datang sendirian.

Soeharto menceritakan dirinya mengenali orang-orang yang ikut bersama-sama Soedarsono. Yaitu pemimpin-pemimpin politik yang baru saja dikeluarkan dari Rumah Tahanan Wirogunan. Saat itu, Soedarsono berkata kepada Soeharto bahwa dirinya diberi kuasa Panglima Soedirman untuk menghadap Presiden Soekoarno esok hari di Istana Negara Gedung Agung Yogyakarta. Ia mengajak Soeharto untuk datang bersamanya.

Pernyataan Soedarsono itu dirasa ganjil oleh Soeharto heran. Sebab, Jenderal Soedirman telah menelponnya langsung dan meminta agar Soedarsono tetap berada di Markas Resmien III Wiroyo.

“Wah keterlaluan Panglima saya ini (Soedarsono), dikira saya tak mengetahui persoalannya. Saya mau diapusi (dibohongi). Tak ada jalan lain selain balas ngapusi dia,” kata Soeharto.

Malam itu juga, tanpa sepengetahuan Soedarsono, pihak istana dilapori soal rencana Jenderal Mayor Soedarsono yang akan ke IstanaNegara menghadap Presiden Soekarno.

Kemudian tepat pada 3 Juli 1946 pagi, Jenderal Mayor Soedarsono beserta pemimpin politik yang bebas dari Wirogunan itu menuju Istana Yogya, dalam kawalan pasukan pimpinan Sersan Gudel.

Setibanya di depan Istana Negara Gedung Agung, pasukan pengawal Presiden melucuti senjata mereka. Sebab haram hukumnya seorang tentara, bahkan seorang jenderal sekali pun, membawa senjata apa pun ketika hendak menemui presiden.

Di Istana, Soedarsono meminta Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Moh Hatta membubarkan kabinet yang dipimpin Perdana Menteri Sutan Sjahrir. Namun Soekarno dan Hatta menganggap permintaan Soedarsono itu adalah sebuah upaya kudeta terhadap pemerintahan. Hingga akhirnya Soedarsono ditangkap di Istana pada saat itu juga.

Menurut Elson, apa yang dipaparkan Soeharto dalam buku Soeharto: Pikiran Ucapan dan Tindakan Saya (1989) yang ditulis Ramadhan KH, adalah upaya Soeharto memposisikan diri sebagai orang netral.

Ada pun mengenai pemimpin-pemimpin politik yang ikut Soedarsono, Soeharto tidak menyebut secara jelas nama-nama mereka. Begitu juga dalam memoar Hatta, Mohammad Hatta Memoir (1979).

Namun, dalam memoar Mangil Martowidjojo berjudul Kesaksian Tentang Bung Karno 1945-1967, ajudan kepercayaan Soekarno ini mencatat beberapa nama-nama pemimpin sipil yang meminta Soekarno membubarkan pemerintahan. Yakni, Panglima Divisi III Jenderal Mayor Soedarsono, Achmad Subardjo, Iwa Kusumasumantri, Sukarni, Chaerul Saleh, Sajuti Melik, dan istrinya SK Trimurti, dr Buntaran, Mohammad Yamin, dan Tan Malaka sebagai pemimpinnya. (Baca: Panglima Besar Di Simpang Kudeta)

Meski pun Soeharto menolak perintah Soekarno untuk menangkap Soedarsono, namun terbukti kemudian, strategi Letnan Kolonel Soeharto jitu dalam menumpas kudeta. Yakni, dengan tidak langsung menangkap Jenderal Mayor Soedarsono, melainkan membiarkannya masuk ke Istana Negara dan ditangkap.

Dapat dibayangkan jika Letnan Kolonel Soeharto langsung menangkap Mayor Jenderal Soedarsono maka akan terjadi pertempuran antara pasukan Resimen III versus pasukan Divisi III yang dibantu laskar-laskar binaan Tan Malaka. Bila itu terjadi maka sangat mungkin akan menelan korban puluhan bahkan ratusan nyawa melayang sia-sia dalam pertempuran tersebut. rmol news logo article

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA