Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Kudeta Gagal 3 Juli 1946

 OLEH: <a href='https://rmol.id/about/republikmerdeka-id-5'>REPUBLIKMERDEKA.ID</a>
OLEH: REPUBLIKMERDEKA.ID
  • Senin, 31 Agustus 2020, 14:29 WIB
Kudeta Gagal 3 Juli 1946
Presiden Soekarno berpidato yang disiarkan melalui mengecam aksi penculikan terhadap Sjahrir pada 29 Juni 1946 /Repro
rmol news logo Mayjen Soedarsono menyodorkan maklumat kepada Presiden Soekarno berisi tuntutan agar kabinet PM Sutan Sjahrir diberhentikan dan diganti kelompok oposisi. Soedarsono kemudian ditangkap atas tuduhan kudeta. 

Meski Sutan Sjahrir dan anggota kabinetnya kembali dalam keadaan selamat. Presiden Soekarno menginginkan peristiwa itu diusut tuntas. (Baca: Kudeta Pertama Yang Dimaafkan). Pemerintah telah mengetahui orang-orang yang terlibat dalam penculikan itu. Termasuk surat penangkapan Sjahrir yang ditandatangani Panglima Divisi IV (Teritorium Jawa Tengah) Mayor Jenderal Soedarsono.

Presiden Soekarno kemudian memerintahkan Komandan Resimen III yang saat itu dijabat Letnan Kolonel Soeharto untuk menangkap Mayjen Soedarsono. Soekarno mengirim utusan Istana bernama Sundjojo menyambangi markas Soeharto di Yogyakarta dan menyampaikan perintah secara lisan.

Namun Soeharto menolak permintaan tersebut, sebab Soedarsono adalah atasannya langsung (Overste). Jadi tidak mungkin seorang bawahan menangkap atasannya sendiri. Soeharto dengan halus menolak permintaan Soekarno dan mempersilakannya untuk menangkap sendiri.

“Sungguh gila gagasan itu,” sebut Soeharto dalam otobiografinya, Soeharto: Pikiran, Ucapan, dan Tindakan Saya. Bagi Soeharto, perintah itu melewati garis komando.

Tak mempan dengan perintah lisan, utusan Istana kembali datang dengan membawa surat perintah dari Presiden Soekarno. Isi surat perintah itu sama: Tangkap Soedarsono.

Soeharto tetap menolak. Ia memutuskan mengembalikan surat perintah tersebut dan membalas dengan pesan singkat agar perintah diberikan melalui Panglima Besar Jenderal Sudirman.

“Sejam kemudian saya dapat berita lewat telepon dari Sundjojo, bahwa semuanya telah dilaporkan kepada Presiden Soekarno dan saya mendapat predikat istimewa ‘Opsir Koppig’ (Opsir Keras Kepala),” kenang Soeharto.

Upaya penangkapan Soedarsono tak hanya melalui perintah resmi, tapi juga berkembang rumor ada infiltrasi dari beberapa laskar. Atas dasar itu, Soeharto menganjurkan atasannya itu (Soedarsono) berlindung di Markas Resimen III Wiyoro, dengan pengawalan satu peleton pasukan.

Akan tetapi yang terjadi kemudian sungguh unik. Soeharto merasa ada yang ganjil, ketika Soedarsono mengatakan kepadanya mendapat perintah dari Panglima Soedirman untuk menghadap ke Istana Presiden bersama Soeharto.

“Wah, keterlaluan panglima saya ini, dikira saya tidak tahu persoalannya. Saya mau diapusi (dibohongi). Tidak ada jalan lain selain balas ngapusi dia,” ujar Soeharto.

Pada malam itu, Soeharto memberikan informasi ke Istana Yogyakarta tentang apa yang sedang terjadi. “Saya persilakan (Soekarno) menangkap sendiri Mayjen Soedarsono,” ungkap Soeharto lagi.

Soedarsono akhirnya ditangkap saat menemui Soekarno di Istana Negara Gedung Agung pada 3 Juli 1946. Kronologis penangkapan Soedarsono dituturkan ajudan Presiden Soekarno, Mangil Martowidjojo dalam bukunya Kesaksian Bung Karno 1945-1947.

Mangil mengatakan, pasca peristiwa penculikan Sutan Sjahrir beredar rumor bahwa ada pasukan tentara yang hendak menyerbu Istana untuk melakukan kudeta. Lantas, pada Rabu, 3 Juli 1946, sebuah truk berisi belasan tokoh Persatuan Perjuangan dan Barisan Banteng datang ke Istana Negara Gedung Agung.

Turut dalam rombongan Chairul Saleh, Muwardi, Abikusno, M. Yamin, Soekarno, Iwa Koesoema Soemantri, dan Ahmad Soebardjo. Menurut Mangil, Mayor Jenderal Soedarsono juga terlihat memimpin rombongan, dan masuk Istana dengan mobil lain.

Saat rombongan itu datang, tengah Presiden Soekarno tengah menggelar rapat dengan Wakil Presiden Muhammad Hatta dan Menteri Pertahanan Amir Sjarifoeddin. Soedarsono dan rombongan meminta untuk bertemu Soekarno.

Mangil menceritakan, saat kejadian rombongan Soedarsono dilucuti dan dibawa ke paviliun Istana Negara. Dari sekian orang yang hadir, hanya Soedarsono yang diizinkan bertemu Presiden Soekarno.

Dalam pertemuan itu, Soedarsono menyodorkan empat naskah berisi maklumat kepada Presiden Soekarno untuk ditandatangani dan diumumkan dengan segera. Soedarsono mengklaim surat itu berasal dari Panglima Besar Jenderal Soedirman.

Maklumat itu berisi empat tuntutan; (1) Presiden memberhentikan Kabinet Sjahrir; (2) Presiden menyerahkan pimpinan politik, sosial, dan ekonomi kepada Dewan Pimpinan Politik; (3) Presiden mengangkat 10 anggota Dewan Pimpinan Politik (yang nama-namanya tercantum dalam naskah); (4) Presiden mengangkat 13 menteri negara (yang nama-namanya tercantum dalam naskah).

Inti tuntutan itu adalah agar pimpinan pemerintahan diserahkan kepada Tan Malaka. Presiden Soekarno didesak untuk mengangkat 10 anggota Dewan Pimpinan Politik yang diketuai Tan Malaka dan beranggotakan Muhammad Yamin, Ahmad Subarjo, dr. Boentaran Martoatmodjo, RS. Budhyarto Martoatmodjo, Sukarni, Chaerul Saleh, Sudiro, Gatot, dan Iwa Kusuma Sumantri. Semuanya adalah pengikut kelompok Persatuan Perjuangan.

Pengakuan Soedarsono itu diragukan Presiden Soekarno. Ia kemudian memanggil Wakil Presiden Muhammad Hatta untuk berkonsultasi. Saat Hatta tiba di Istana, Soekarno langsung menunjukkan surat dari Soedarsono yang diklaim berasal dari Jenderal Soedirman.

Dalam bukunya Untuk Negeriku: Sebuah Otobiografi, Mohammad Hatta menyatakan, tidak percaya dengan maklumat yang diakui Soedarsono berasal dari Panglima Besar Soedirman.

Hatta mencoba mengklarifikasi langsung kepada Soedarsono. “Apa benar surat ini (maklumat) dibuat oleh Panglima Besar Soedirman, yang saudara bawakan untuk Presiden?” tanya Hatta.

"Benar," jawab Soedarsono singkat.

Sementara Soedarsono bersikukuh, surat yang dibawanya itu atas perintah Soedirman. Beberapa pemimpin politik sipil yang ikut bersamanya bisa bersaksi bahwa surat itu benar-benar dari Soedirman.

Hatta tetap tidak percaya. Ia pergi ke kamar sebelah, menelepon kepada Jenderal Oerip Soemohardjo, menanyakan di mana pada waktu itu Panglima Soedirman.

“Sekaligus aku ceritakan isi surat yang dibawakan oleh Jenderal Soedarsono. Jenderal Oerip menjawab, bahwa Panglima Besar Soedirman mustahil membuat surat semacam itu kepada Presiden,” tulis Hatta.

Masih kurang puas dengan jawaban Jenderal Oerip, untuk lebih meyakinkan dirinya, Hatta menemui Soekiman, satu seoerang staf penasihat Soedirman. Soekiman mengaku dirinya tidak tahu soal maklumat yang dibawa Soedarsono.

Hasil pembicaraan dengan Jenderal Oerip dan Soekiman disampaikan Hatta kepada Presiden Soekarno. Keduanya kemudian sepakat bahwa apa yang dilakukan Soedarsono dan kawan-kawan politiknya adalah persekongkolan untuk melakukan kudeta terhadap pemerintah.

Presiden Soekarno menyatakan menolak maklumat tersebut dan pada saat itu memerintahkan penangkapan Mayjen Soedarsono beserta rekan-rekannya.

Sebanyak 14 orang yang diduga terlibat dalam usaha kudeta 3 Juli 1946 diajukan ke depan Mahkamah Tentara Agung. Dari 14 orang, sebanyak 7 terdakwa dibebaskan dari tuntutan.

Dalam persidangan pengadilan tersebut, selain Mayjen Soedarsono, Muhammad Yamin juga dipersalahkan memimpin percobaan kudeta. Soedarsono dan M Yamin dijatuhi hukuman 4 tahun. Sedangkan lima terdakwa lainnya dihukum 2-3 tahun. Mereka kemudian dipenjarakan di Penjara Wirogunan, Yogyakarta.

Ditulis Rosihan Anwar dalam buku Sejarah Kecil "Petite Historie" Indonesia, Volume 3, Adam Malik (pernah menjabat Wakil Presiden semasa Pemerintahan Presiden Soeharto) yang saat itu menjabat pimpinan Kantor Berita Antara yang bergabung dengan Tan Malaka juga ikut ditangkap.

Sedangkan, Tan Malaka, meski disebut-sebut sebagai dalang di balik aksi itu, namun Tan Malaka tak dihadirkan ketika sidang mulai digelar.

Menurut pendapat Harry Poeze, dalam buku berjudul Tan Malaka, Gerakan Kiri, dan Revolusi Indonesia Jilid 3. Tan Malaka sengaja tidak dihadirkan di persidangan karena ditakutkan sidang akan dipakai sebagai wahana propaganda. Dikhawatirkan Tan Malaka akan berpidato dengan berapi-api sehingga suasana akan bisa menjadi semakin panas.

Pada masa itu ada pernyataan Tan Malaka yang melegenda tentang alasannya menolak perjuangan diplomasi; “Tuan rumah tidak akan berunding dengan maling yang menjarah rumahnya.”

Para pelaku kudeta pertama dalam sejarah Republik Indonesia itu tidak menjalani seluruh masa hukumannya. Apa akhirnya mereka mendapat pengampunan dari Presiden Soekarono. Mereka dibebaskan atas grasi Presiden saat peringatan Proklamasi Indonesia yang ketiga, 17 Agustus 1948. rmol news logo article

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA