Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Menengok Sejarah, Ini Yang Terjadi Ketika Sekolah Dibuka Selama Pandemik Influenza 1918

 LAPORAN: <a href='https://rmol.id/about/amelia-fitriani-1'>AMELIA FITRIANI</a>
LAPORAN: AMELIA FITRIANI
  • Rabu, 19 Agustus 2020, 23:31 WIB
Menengok Sejarah, Ini Yang Terjadi Ketika Sekolah Dibuka Selama Pandemik Influenza 1918
Wacana soal pembukaan kembali sekolah juga pernah menjadi buah bibir pada pandemik influenza tahun 1918/CNN
rmol news logo Di tengah pandemik virus corona atau Covid-19 yang saat ini masih jauh dari kata usai, wacana soal pembukaan kembali sekolah menjadi buah bibir. Hal itu juga dialami oleh Amerika Serikat saat ini.
Selamat Menunaikan Ibadah Puasa

Bak dua sisi mata uang, wacana tersebut tentu menuai pro dan kontra. Pembukaan kembali sekolah dan pembelajaran tatap muka tidak bisa dipungkiri mampu meningkatkan potensi penularan virus corona. Terlebih hingga saat ini belum ada vaksin Covid-19 yang diakui dunia mampu melawan Covid-19, meski perlombaan membuat vaksin masih terus berlangsung.

Tapi di sisi lain, banyak orangtua yang resah mengenai pendidikan anak-anak mereka yang sejak hampir setengah tahun belakangan dilakukan jarak jauh secara virtual.

Sebenarnya, jika mau menengok lagi ke belakang, ini bukan kali pertamanya dunia sibuk dengan wacana pembukaan kembali sekolah di tengah pandemik.

Selama pandemik influenza tahun 1918, tentu dengan kondisi yang berbeda dengan pandemik Covid-19 saat ini, wacana soal pembukaan kembali sekolah juga pernah memanas.

Diketahui bahwa pandemik itu menyebabkan sekitar 5 juta orang di seluruh dunia meninggal dunia. Sekitar 675 ribu di antaranya terjadi di Amerika Serikat.

Pada saat itu, sebagian besar kota dan negara bagian di Amerika Serikat menutup sekolah demi mencegah penularan pandemik ilfluenza memburuk.

Namun, menurut para sejarawan, tiga kota di negeri Paman Sam memilih untuk tetap membuka sekolah. Ketiganya adalah New York, Chicago dan New Haven.

Keputusan pejabat kesehatan di kota-kota tersebut untuk tetap membuka sekolah di tengah pandemik sebagian besar didasarkan pada hipotesis pejabat kesehatan masyarakat bahwa siswa lebih aman dan lebih baik di sekolah.

Hal tersebut dikarenakan pada masa itu adalah puncak Era Progresif, dengan penekanannya pada kebersihan di sekolah dan lebih banyak perawat untuk setiap siswa di sekolah.

Sebagai contoh, di New York. Menurut sebuah artikel 2010 di Public Health Reports, yakni jurnal resmi US Surgeon General dan US Public Health, ada hampir 1 juta anak sekolah pada tahun 1918. Sekitar 75 persen dari mereka tinggal di rumah petak, dalam kondisi ramai dan seringkali tidak sehat.

"Untuk siswa dari distrik rumah petak, sekolah menawarkan lingkungan yang bersih dan berventilasi baik di mana guru, perawat, dan dokter sudah berlatih dan mendokumentasikan pemeriksaan medis rutin yang menyeluruh," begitu bunyi artikel Laporan Kesehatan Masyarakat tersebut.

Padahal, menurut sejarawan medis dan direktur Pusat Sejarah Kedokteran di Universitas Michigan, Dr. Howard Markel, pada saat itu New York merupakan salah satu kota yang paling parah dan paling awal terkena pandemik influenza.
 
"(Anak-anak) meninggalkan rumah mereka yang seringkali tidak sehat menuju gedung sekolah yang besar, bersih, dan lapang, di mana selalu ada sistem pemeriksaan dan pemeriksaan yang diberlakukan," kata komisaris kesehatan New York pada saat itu, Dr. Royal S. Copeland, kepada New York saat pandemik memuncak.

Menurut Copeland, selama masa pandemik influenza, siswa tidak diizinkan berkumpul di luar sekolah dan harus segera melapor kepada guru mereka. Sedangkan guru memeriksa siswa apakah ada tanda-tanda flu.

Jika siswa mengalami demam, guru akan segera melapor dan petugas dari departemen kesehatan akan membawa mereka pulang dan akan menilai apakah kondisi rumahnya sesuai untuk isolasi dan perawatan atau tidak. Jika tidak sesuai, maka siswa akan dikirim ke rumah sakit.

"Departemen kesehatan mewajibkan keluarga dari anak-anak yang pulih di rumah untuk memiliki dokter keluarga atau menggunakan layanan dokter kesehatan masyarakat tanpa biaya," kata artikel Laporan Kesehatan Masyarakat.

Setali tiga uang dengan New York, Chicago juga menggunakan alasan yang sama untuk tetap membuka sekolah di masa pandemik inluenza. Sekolah dibuka untuk sekitar 500 ribu siswa di kota tersebut.

Bagi pejabat setempat, menjaga sekolah tetap buka akan menjauhkan anak-anak dari jalanan dan jauh dari orang dewasa yang terinfeksi influenza.

Pada saat itu, memeng tingkat ketidakhadiran di sekolah di Chicago melonjak selama pandemik. Pejabat kesehatan masyarakat Chicago menyebut hal itu sebagai "fluphobia" di antara orang tua.

"Tingkat ketidakhadiran sangat tinggi, tidak masalah, karena sekolah buka," kata Markel.

Namun pihak berwenang Chicago membuat strategi untuk menjaga para siswa tetap aman dengan memastikan sirkulasi udara segar serta jendela kelas dibuka sepanjang waktu, merujuk pada sebuah makalah tahun 1918 yang dibuat oleh Departemen Kesehatan Chicago.

Makalah tersebut menyimpulkan bahwa analisis data menunjukkan bahwa keputusan untuk tetap membuka sekolah-sekolah di kota ini selama epidemi influenza dapat dibenarkan.

Di New York, pada saat itu, Komisaris Kesehatan Copeland mengatakan kepada New York Times bahwa pembukaan sekolah merupakan hal yang baik.

"Betapa jauh lebih baik jika anak-anak selalu di bawah pengawasan orang-orang yang memenuhi syarat daripada menutup sekolah," ujarnya.

Makel sendiri, bersama peneliti lain, melakukan penelitian data dan catatan sejarah untuk melihat tanggapan 43 kota di Amerika Serikat terhadap pandemik 1918.

Dia menyebut bahwa New York tidak melakukan yang terburuk, tetapi juga tidak melakukan yang terbaik. Sedangkan Chicago melakukan sedikit lebih baik daripada New York.

Penelitian menunjukkan bahwa kota-kota yang menerapkan karantina dan isolasi, penutupan sekolah dan larangan pertemuan umum mendapatkan hasil yang terbaik.

"Kota-kota yang melakukan lebih dari satu (tindakan pencegahan tersebut) memiliki hasil yang lebih baik. Penutupan sekolah adalah bagian dari kontribusi itu," kata Markel.

Meski demikian, Markel, dan para pakar kesehatan lainnya, menekankan bahwa Covid-19 berbeda influenza. Masih banyak misteri yang harus dipelajari dan diungkap  tentang Covid-19 itu sendiri.

Karena itulah, Markel menekankan bahwa keputusan yang tepat pada hari ini adalah dengan tetap menutup sekolah.

"Lebih aman daripada menyesal," tekannya, seperti dimuat CNN. rmol news logo article

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA