Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Jalan Kebangkitan UMKM Di Tengah Pandemik Corona

Selasa, 30 Juni 2020, 06:20 WIB
Jalan Kebangkitan UMKM Di Tengah Pandemik Corona
Ilustrasi produk pelaku UMKM/Net
DAMPAK pandemik virus Corona baru (Covid-19) bagi perekonomian nasional sangat signifikan. Sebut saja kelompok usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM) Indonesia yang kemudian disebutkan banyak berhenti operasi. Kementerian Koperasi dan UMKM pada Mei lalu, menyebutkan bahwa akibat pageblug Covid-19 setidaknya ada 40 persen  (25 juta) UMKM yang menghentikan operasionalnya.

Tentu data tersebut tidak mewakili jumlah yang sebenarnya. Sebabnya ada banyak pelaku UMKM yang  belum tersentuh pemerintah, baik karena faktor pendataan, belum tersentuh program stimulus ekonomi dan faktor menghindari beban pajak.

Iftitah

Data BPS tahun 2020 menyatakan bahwa jumlah UMKM di Indonesia sebanyak 64,2 juta. Boleh jadi dari angka itu masih banyak pelaku UMKM yang belum terdata oleh pemerintah karena beberapa sebab seperti yang telah disebutkan di atas. Pemerintah sendiri mengatakan telah mengucurkan dana Rp 123,4 triliun khusus bagi UMKM. Sebagaimana dalam kajian pemerintah dan analis ekonomi, kelompok UMKM adalah kelompok yang paling terdampak corona.

Dana Rp 123,4 triliun itu terbagi dalam beberapa klaster peruntukan, diantaranya subsidi bunga Rp 35,28 triliun, penempatan dana untuk restrukturisasi kredit Rp 78,8 triliun, Belanja Imbal Jasa Penjaminan Rp 5 Triliun, penjaminan modal kerja (stop loss) Rp 1 triliun, pembiayaan investasi koperasi (LPDB) KUMKM Rp 1 triliun dan Pph final UMKM yang ditanggung pemerintah senilai total Rp 2,4 triliun.

Sejarah di berbagai belahan dunia membuktikan, saat terjadi gejolak krisis ekonomi, kelompok UMKM adalah yang paling tahan akan krisis. Ada beberapa hal yang menjadi faktornya, pertama: UMKM menghasilkan barang konsumsi dan jasa yang sangat lekat dengan kebutuhan hidup masyarakat, sehingga saat terjadi gejolak ekonomi secara makro tidak banyak berpengaruh terhadap permintaan barang dan jasa.

Kedua, pelaku UMKM pada umumnya memanfaatkan sumberdaya lokal, baik sumberdaya manusia (pekerja), modal, bahan baku bahkan hingga instrumen produksinya. Faktor ini menjadi sangat signifikan perannya karena membuat para pelaku UMKM tidak bergantung pada impor.

Faktor yang ketiga adalah dunia bisnis UMKM biasanya tidak ditopang oleh dana pinjaman dari perbankan. Pada saat perbankan terpuruk akibat Corona dan suku bunga melambung, UMKM kemudian tidak begitu terpengaruh.

Saat krisis Asia pada tahun 1998, UMKM adalah kelompok penyangga dalam mempercepat kebangkitan ekonomi karena aktivitas ekonomi di bidang sektor riil masih berjalan dengan baik. Kondisi ini yang berbeda dengan saat ini, bencana non alam wabah Corona telah mengakibatkan aktivitas priduksi benar-benar terganggu, sehingga mengakibatkan supply shock. Imbas lanjutannya adalah demand shock. Dalam bahasa sederhananya transaksi ekonomi berupa jual beli tidak berjalan dengan baik.

Dengan data 97 persen mayoritas pelaku usaha di Indonesia adalah kelompok UMKM, dan 60 persen sebagai penyumbang produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia (Rp 4.800 Triliun). Dengan signifikansi peranan UMKM yang sedemikian penting, mau tidak mau negara harus betul-betul memberikan perhatian dan bantuan untuk memulihkan kondisi ekonomi negara dari guncangan krisis.

Apalagi dari total UMKM di Indonesia hanya 8 persen (8 juta) yang memiliki market place di dunia online (digital). Sebagaimana diketahui, di tengah pandemik corona, dunia bisnis dengan cara online (digital) adalah salah satu jalan keluar bagi dunia usaha. Mereka bertahan dari bencana non alam Corona dengan melakukan transaksi ekonomi secara daring. Perlu diingat sebagaimana pandangan para ahli, pageblug Corona akan berlangsung hingga dalam 2 tahun mendatang.

Pandangan Ekonomi


Dalam konteks krisis ekonomi, pandangan Profesor Boediono menyebutkan 3 macam gangguan perlu dipahami. Mantan Wapres RI dan Gubernur Bank Indonesia itu menyebut 3 macam gangguan yang menjadi sebab krisis ekonomi. Pertama gangguan yang berasal dari gejolak harga komoditas ekspor dan impor suatu negara. Prof Boediono menyebutnya gejolak terms of trade, dimana kondisi ekonomi semacam itu akan berimbas pada sektor riil dan sektor keuangan dalam negeri.

Kedua, adalah gejolak aliran modal. Arus uang global yang berbalik arah berdampak secara dahsyat pada keuangan dalam negeri.  Hal ini pernah terjadi saat krisis 98. Saat itu uang global triliunan dolar ditarik dari Indonesia dan mengakibatkan gejolak pada kurs mata uang, kekeringan likuiditas dan defisit modal. Imbasnya pun ke sektor riil tak bisa dibendung, pemutusan hubungan kerja (PHK), tutupnya perusahaan dan merosotnya ekonomi terjadi secara massal.

Di tengah pandemik Corona, hingga bulan April dana asing senilai Rp 174 Triliun sudah ditarik oleh para investor. Bisa dipastikan hingga akhir Juni nilai modal asing yang meninggalkan dunia investasi dalam negeri terus meningkat signifikan. Tentunya akan berdampak pada sektor riil seperti saat krisis Asia 1998 silam.

Ketiga Prof Boediono, menyebutkan gejolak ekonomi yang dipengaruhi oleh alam juga akan menimbulkan krisis ekonomi berkepanjangan. Sebut saja el Nino, Tsunami, banjir dan bencana lainnya. Pageblug Corona tentu bisa dikategorikan di dalamnya, wabah virus asal Kota Wuhan China ini dapat mengakibatkan gejolak ekonomi.

Dalam konteks perekonomin Indonesia di tengah pandemik Corona seperti saat ini, 3 sebab gejolak yang diutarakan oleh Prof Boediono sepertinya terjadi secara bersamaan. Maka kalau dianalisis secara ekonomi, gejolak krisis ini akan benar-benar berkepanjangan apabila tidak dikelola secara efektif dan efisien.

Dalam menghadapi situasi krisis ekonomi, Prof Boediono juga menekankan beberapa hal prinsip. Prof Boediono menitikberatkan pada penguatan struktur ekonomi. Maksudnya jangan sampai aktivitas ekonomi suatu negara bergantung pada ekspor beberapa komoditas dan memilki ketergantungan besar pada impor.

Fakta lainnya sebagai indikator lemahnya struktur ekonomi adalah tipisnya struktur pasar sehingga dapat menggoyahkan pasar secara tidak proporsional. Ketimpangan  struktur ekonomi yang disebabkan oleh berubahnya sistem kebijakan negara turut serta memperlemah struktur ekonomi, baik pasar devisa, pasar surat utang, pasar saham dan dunia perbankan.

Prof Boediono juga menyebut faktor pertahanan dari krisis yang kedua adalah tataran kebijakan pemerintah. Negara dalam hal ini pemerintah harus memiliki prinsip kehati-hatian (prudence) pada lembaga yang bertugas di bidang ekonomi makro dan monter. Prinsip kehati-hatian itu akan menghindarkan terjadnya kelengahan kebijakan yang memperberat atau memicu krisis. Selain itu, kredibilitas dan kepercayaan di mata pelaku usaha.

Dengan kata lain,  pemerintah dalam menghadapi wabah Corona harus betul-betul akuntabel dan transparan dalam mengelola setiap paket kebijakan pemulihan ekonomi nasional yang nilainya saat ini mencapai Rp 905 triliun. Jika dua pertahanan dalam perspektif Boediono itu berjalan secara efektif maka jangkar kestabilan ekonomi akan tercipta. Di mana dalam situasi normal dan kesiapan menghadapi krisis.

Namun demikian, saat menghadapi krisis (Corona), Boediono memberi titik tekan tentang garis pertahanan ketiga. Menurut Boediono, saat menghadapi krisis sebuah aturan dan gamblangnya protokol para pemegang otoritas yang menangani krisis teramat penting. Outputnya, pemerintah juga harus melakukan secara kolektif. Langkah ini penting untuk mengambil langkah yang perlu dilakukan. Sifatnya real time dengan fokus mengatasi masalah yang muncul di lapangan. Misalnya, masalah 40 persen (25 juta) UMKM yang berhenti beroperasi haruslah segera ditangani oleh pemerintah. Termasuk UMKM lainnya yang jumlahnya sedemikian banyak dan belum tresentuh negara.

Solusi Membangkitkan UMKM

Kembali pada inti gagasan kebangkitan UMKM di tengah pandemik Corona, Santri Milenial Centre (Simac) sebagai simpul bagi beberapa jaringan komunitas UMKM yang mengcover lebih dari 100 ribu pelaku usaha baik mikro (ultra), kecil dan menengah mengusulkan beberapa skema. Tujuannya adalah pandemik Covid-19 ini menjadi momentum bagi kebangkitan dan pembenahan tata kelola UMKM di seluruh pelosok negeri.

Jejaring komunitas yang menjadi basis advokasi Simac diantaranya, Komunitas Santri Milenial (15 ribu). Asosiasi Badan Usaha Milik Pesantren/Asbumpi (10 ribu), Gerakan Santri Usahawan/Gus Iwan (100 ribu UMKM), Kopontren Nurul Huda Sukasari Bandung (2500), Koperasi AHASI/ Asosiasi Handycraft Jember Indonesia (500), Masyarakat Agribisnis Jagung (13.420) dan Koperasi BU Abdi Nusantara yang menaungi 50 ribu pelaku UMKM.
 
Simac merekomendasikan beberapa skema konkret untuk pemberdayaan UMKM dalam menghadapi Corona. Harapannya gelontoran dana Rp 123,4 triliun yang sudah disuarakan oleh pemerintah benar-benar sampai pada sasarannya, yakni pelaku UMKM yang terdampak Corona. Seperti yang diutarakan Prof Boediono bahwa saat menghadapi krisis masalah di lapangan menjadi entry point penting bagi penanggulangan masalah akibat krisis (Covid-19), termasuk krisis ekonomi.

Sebagai institusi yang dalam beberapa tahun terakhir menjalankan kerja advokasi, pelatihan dan pendampingan para pelaku UMKM dari berbagai jenis, Simac mendapatkan informasi umum bahwa hingga saat ini gelontoran dana ratusan triliun itu belum sampai hingga ke bawah. Nampak massif di permukaan (media massa) namun nirinformasi di bawah. Simac dan pemerintah tentu tidak ingin program yang digelontorkan untuk menghadapi Corona justru menjadi pemicu krisis baru yang disebabkan tidak berjalannya protokol kebijakan penanganan wabah secara maksimal.

Rekomendasi Simac pada pemerintah adalah beberapa institusi harus menjalankan fungsi kelembagaan secara cepat, efektif, transparan dan akuntabel. Pemberdayaan UMKM terdampak Corona harus dikelola di bawah kendali KemenkopUKM. Tentunya dengan melibatkan institusi lainnya yang terkait erat dengan sektor riil sebagai mitra strategis. Beberapa lembaga itu antara lain, Kementerian Pertanian, Kementerian Perdagangan, LPDB, Kementerian Keuangan, Perbankan, Kemenkominfo dan juga perguruan tinggi.

UU 20/2008 tentang UMKM bisa jadi payung hukum utama dalam mengelola para pelaku UMKM terdampak Covid-19. Kementerian Koperasi dan UMKM harus segera melibatkan basis komunitas UMKM seperti Simac dan komunitas UMKM ajar rumput lainnya. Bentuk pelibatan itu kemudian dengan cara memastikan para pelaku UMKM mendapatkan berbagai program stimulus untuk pemulihan, mulai subsidi, restrukturisasi kredit, pembiayaan investasi, penjaminan modal kerja dan juga bentuk program lainnya.

Kementerian Koperasi dan UKM (KemenkopUKM) perlu segera mengundang simpul perwakilan UMKM lainnya untuk membangun suatu ekosistem pengelolaan UMKM yang deliberatif. Memutus mata rantai yang menghambat alur komunikasi dan distribusi kebijakan negara, sekaligus menjembatani segala aspirasi para pelaku UMKM. Saat ruang komunikasi secara periodik berjalan efektif maka bisa dipastikan krisis ekonomi akibat pandemik Corona ini bisa ditangani secara cepat.

Rekomendasi selanjutnya adalah, KemenkopUKM sebagai leading sector harus melibatkan simpul komunitas UMKM untuk kemudian melakukan pendataan para pelaku usaha mikro (ultra, kecil, dan menengah) sebagai mana kategori UMKM dalam UU 20/2008. Hal ini penting karena organ seperti Simac telah berpengalaman dan bersentuhan langsung dengan para pelaku UMKM di level grassroot.

Rekomendasi yang juga penting dilakukan Negara, Pemerintah harus menerapkan konsep koperasi sebagai korporasi kerakyatan. Maksudnya, pemerintah memamfasilitasi para pelaku UMKM terdampak Covid-19 dengan model koperasi sekunder sebagai agregator dari koperasi-koperasi primer dalam bentuk BMT dan KSP. Tujuannya sebagai penguatan sektor finance dengan kolaborasi dengan pihak terkait sebagai mitra strategis yang akan mensupport sektor riil UMKM.

Memadukan sektor finansial dengan sektor riil dalam semangat korporasi kerakyatan adalah cara cepat, tepat, efektif dan efisien berbasis komunitas dalam penanganan pemulihan ekonomi nasional. Di sini pentingnya hadir santri yang identik memiliki komitmen merah putih/NKRI dan semangat memberi manfaat bagi sesama (anfauhum linnas).

Negara harus hadir dengan memperbaiki tata kelola UMKM di Indonesia. Masalah laten para pelaku UMKM belum mendaftarkan usahanya ke pemerintah harus segera diatasi. Pandemik Covid-19 harus jadi momentum perbaikan masalah data UMKM yang biasanya tak pernah ada ujungnya. Negara tidak boleh abai dengan alasan bahwa para pelaku UMKM tersebut belum terdata oleh stakeholder.

Dengan cara demikian, pandemik Corona justru akan memberikan manfaat yang meningkatkan kemaslahatan rakyat. Pikiran besarnya adalah perekonomian Indonesia diibaratkan sebagai sebuah kapal tidak akan mudah oleng, tahan terpaan ombak dan tidak mudah bocor.

Berbagai perangkat kebijakan ekonomi era pemerintahan Jokowi menghadapi badai Corona ini betul-betul bermuara pada pengurangan risiko karamnya kapal ekonomi Indonesia.  Sang Nakhoda (pemerintah) harus menjalankan tugas kenegaraannya dengan prinsip kehati-hatian.

Pada akhirnya, kapal ekonomi tetap berlabuh, penumpang (rakyat) terselamatkan dan mampu melewati musibah pageblug Corona. Pandemik corona justru akan membangkitkan Indonesia dan berhasil lepas dari berbagai terpaan badai krisis, menjadi sebuah negara yang maju, makmur, berdaulat dan sejahtera.rmol news logo article


Nur Rohman
Penulis adalah Presiden Santri Milenial Centre (Simac)

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA