Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Mengenang Lafran Pane Pendiri HMI

 OLEH: <a href='https://rmol.id/about/dr-muhammad-najib-5'>DR. MUHAMMAD NAJIB</a>
OLEH: DR. MUHAMMAD NAJIB
  • Rabu, 22 April 2020, 23:35 WIB
Mengenang Lafran Pane Pendiri HMI
Pendiri HMI, Lafran Pane/Net
LAFRAN Pane, lahir pada 5 Februari 1922, di sebuah desa bernama Pagurabaan, Kecamatan Sipirok, di kaki Gunung Sibual-Bual, berada 38 kilometer utara Padang Sidempuan, Sumatera Utara.
Selamat Menunaikan Ibadah Puasa

25 tahun kemudian, tepatnya 5 Februari 1947, ia mendeklarasikan berdirinya Himpunan Mahasiswa Islam (HMI). Tampaknya ia sengaja memilih tanggal istimewa tersebut karena terkait dengan kelahirannya.

Saat itu Lafran masih mahasiswa  semester pertama di Fakultas Hukum, Sekolah Tinggi Islam (STI) yang kini menjadi Universitas Islam Indonesia (UII). Ia mengadakan rapat di kelasnya dengan menggunakan jam kuliah Tafsir oleh Husein Yahya di kampusnya.

Lafran adalah sosok sederhana dan rendah hati, yang sebenarnya menolak disebut sebagai pendiri HMI. Ia lebih suka disebut sebagai salah satu pendiri saja. Akan tetapi, Kongres XI HMI tahun 1974 di Bogor, menetapkan Lafran Pane sebagai pemrakarsa berdirinya HMI dan disebut sebagai pendiri HMI.

Selain Lafran, ada sejumlah nama lain yang disebut sebagai pendiri HMI, antara lain: Kartono Zarkasy (Ambarawa), Dahlan Husein (Palembang), Siti Zainah (Palembang), Maisaroh Hilal (Yogya), Soewali (Jember), Yusdi Gozali (Semarang), M. Anwar (Malang), Hasan Basri (Surakarta), Marwan (Bengkulu), Tayeb Razak (Jakarta), Toha Mashudi (Malang), Bidron Hadi (Kauman-Yogyakarta), Sulkarnaen (Bengkulu), dan Mansyur, yang saat itu semuanya masih berusia muda.

Berdirinya HMI tidak bisa dilepaskan dari kondisi politik yang dihadapi bangsa Indonesia saat ini.  Usia kemerdekaan baru dua tahun, pemerintahan belum stabil, muncul ancaman kolonial Belanda akan kembali menjajah.

Dalam situasi seperti inilah sebuah organisasi yang diinisiasi oleh para mahasiswa yang memilih lambang perisai, dengan warna hijau dan hitam ini terbentuk. Para mahasiswa ini peduli dan ingin berpartisipasi dalam membela RI yang masih lemah dengan spirit Islam.

Karena itu Lafran dan kawan-kawannya merumuskan tujuan HMI sebagai berikut: Pertama, mempertahankan Negara Republik Indonesia dan mempertinggi derajat Rakyat Indonesia. Kedua, menegakkan dan mengembangkan ajaran agama Islam.

Karena itu kader-kader HMI yang lahir dari rahimnya, memiliki visi  menyatunya kepentingan Islam dan negara, sehingga melahirkan  slogannya kader ummat dan kader bangsa, yang menyatukan Ke-Islaman dan ke-Indonesian.

Karena menyatunya nilai-nilai nasionalisme (ke-Indonesian) dan ke-Islaman pada diri seorang kader.Ssampai Panglima Besar  Jenderal Sudirman dalam pidatonya pada peringatan lahirnya HMI yang pertama, pada tanggal 5 Februari 1948 di Yogya, menyatakan: “HMI adalah harapan masyarakat Indonesia”. Sudirman yang juga kader Muhammadiyah sengaja mengganti "I" yang merupakan singkatan dari kata "Islam" dengan kata "Indonesia", untuk menggambarkan menyatunya ke-Islaman dan ke-Indonesian.

Pada kongres HMI ke-7 di Solo, tujuan HMI berubah menjadi: “Terbinanya insan akademis, pencipta, pengabdi yang bernafaskan Islam dan bertanggungjawab atas terwujudnya masyarakat adil makmur yang diridhai Allah SWT”.

Kehadirannya semakin menonjol, ketika muncul Partai Komunis Indonesia (PKI) sebagai ancaman negara pada awal tahun 1960-an. 13 September 1960 Masyumi yang menjadi musuh PKI bubar.

Setelah itu PKI menyasar HMI yang dianggap sebagai underbow Masyumi. Berbagai bentrokan aktivis HMI dengan aktivis mahasiswa sayap PKI bernama Central Gerakan Mahasiswa Indonesia  (CGMI) terjadi dimana-mana. Salah satunya yang dialami HMI Cabang Jember.

Doktor Ernest Utrecht, seorang dosen keturunan Belanda, staf pengajar pada Fakultas Hukum Universitas Brawijaya Cabang Jember (cikal bakal Universitas Jember), menuntut pembubaran HMI Cabang Jember secara terbuka.

Menurut Julius Pour dalam bukunya, Gerakan 30 September: Ketua CC PKI DN Aidit saat itu bahkan memprovokasi para kader CGMI.  Dalam sebuah pidato di hadapan para aktivis CGMI, Aidit meminta CGMI membubarkan HMI.

"Kalau pemerintah tidak mau membubarkan HMI, jangan kalian berteriak-teriak menuntut pemerintah membubarkan HMI. Lebih baik kalian bubarkan sendiri,” teriak Aidit saat itu.

"Dan kalau kalian tidak mampu membubarkannya, lebih baik kalian jangan memakai celana, tukar saja dengan kain sarung perempuan," seloroh Aidit.

Presiden Soekarno termakan dengan manuver PKI ini. Lalu memanggil Menteri Agama Saat itu, kemudian mengutarakan rencananya untuk membubarkan HMI. Saifuddin Zuhri yang menjabat Menteri Agama yang berasal dari NU pada waktu itu menolak.

Menurutnya HMI  tidak perlu dibubarkan, cukup pengurusnya dipanggil dan dinasehati. Sempat tegang, karena Bung Karno memaksa, sampai Saifuddin Zuhri mengancam akan mengundurkan diri, baru Presiden melunak. Bung Karno kemudian menugaskan Saifuddin Zuhri bersama AH Nasution, Roeslan Abdulgani, dan Syarief Thayeb untuk membimbing HMI.

Memasuki era Orde Baru, HMI menghadapi tantangan baru. Saat itu HMI dipimpin oleh Nurchlolis Masjid. Cak Nur panggilan akrabnya kemudian merumuskan ideologi HMI yang diberi nama Nilai Dasar Perjuangan (NDP).

Menurut pengakuannya, NDP yang disusun pada 1969 menjelang Kongres HMI di Malang, sebetulnya merupakan penyempurnaan dari Dasar-Dasar Islamisme yang ditulis sebelumnya, yang diakuinya diniatkan sebagai sebuah ideologi Islam.

Dalam menulisnya, ia didorong oleh adanya tiga alasan: Pertama, belum adanya bahan bacaan yang komprehensif dan sistematis mengenai ideologi Islam. Pada waktu itu, hanya tersedia buku karangan Tjokroaminoto; Islam dan Sosialisme, yang dirasakan tidak lagi memadai.

Kedua, rasa iri terhadap kader-kader muda Komunis yang sudah memegang buku bernama Pustaka Kecil Marxis, yang dikenal dengan singkatannya PKM sebagai pegangan ideologi.

Ketiga, dirinya sangat terkesan oleh buku karangan Willy Eichler berjudul: Fundamental Values and Basic Demands of Democratic Socialism. Eichler adalah seorang intelektual yang sangat memahami sosialisme, yang kemudian berusaha merumuskan ideologi Partai Sosialis Demokrat Jerman (SPD).

Secara substansial walaupun NDP sengat kental dengan dimensi ideologis, akan tetapi ia juga membawa semangat pembaruan atau perubahan dalam pemahaman Islam yang hidup di Indonesia, khususnya terkait dengan kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.

Semangat intelektualitas dan kecendekiaan juga sangat menonjol. Hal ini tidak bisa dilepaskan dari  sosok Cak Nur yang menempuh pendidikannya di Pondok Modern Gontor dan IAIN, yang membuatnya memiliki bekal pemahaman ke-islaman yang luas dan mendalam. Kemudian dimatangkan oleh pengalamannya sebagai Ketua PB HMI dan kefasihannya dalam Bahasa Arab dan Bahasa Inggris, membuatnya memiliki pergaulan dan bacaan yang sangat luas.

Karena itu tidak berlebihan jika dikatakan, kalau Lafran meletakkan fondasi bangunan HMI, maka Cak Nurlah yang memberikan bentuk dan asessori bangunannya sehingga nampak indah dan menarik.

Jika dikaitkan dengan sosok Cak Nur saat menjadi alumni (KAHMI) yang sangat aktif di dunia kecendekiaan, munculnya NDP yang dirumuskan Cak Nur dapat dikatakan sebagai kelahiran HMI yang kedua, saat harus menghadapi tuntutan baru sejalan dengan perkembangan zaman.

Apalagi dengan semangat bagaimana Islam memberikan konstribusi dalam membangun peradaban, sebagi wujud atau implementasi dari perintah Al Qur'an agar umat Islam menjadi rahmat bagi semesta alam (Al Anbiya 107), anggapan Cak Nur sebagai momentum kelahiran kedua HMI menjadi tepat.
 
Alhamdulillah berkat jasa-jasanya Lafran Pane telah mendapatkan pengakuan sekaligus penghargaan negara sebagai Pahlawan Nasional, kapan untuk Cak Nur ?rmol news logo article
Penulis adalah Pengamat Politik Islam dan Demokrasi

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA