Sebenarnya kata "salaf" merupakan penyederhanaan dari kata "Salaf al Salih" yang berarti "pendahulu yang soleh". Istilah ini secara umum digunakan untuk merujuk pada era generasi awal Islam, yaitu sahabat, tabi'in, tabi'ut tabi'in, yang secara sederhana bisa dikatakan sebagai generasi awal penganut Islam, generasi kedua, dan ketiga.
Dengan demikian istilah kaum Salafi atau ajaran Salafiah sebenarnya bersifat sangat universal. Karena itu, banyak organisasi atau kelompok keagamaan di seluruh dunia, mengaku mempraktikan ajaran Salafiah. Di Indonesia, komunitas NU mengaku mempraktikan ajaran Salafiah.
Di Saudi Arabia pengikut Salafi dinisbatkan kepada seorang tokoh pembaharu bernama Muhammad bin Abdul Wahab yang hidup (1703 M - 1793 M) di wilayah Najd disekitar Riad yang menjadi ibukota Saudi Arabia saat ini. Sesuai dengan nama sang tokoh itu sebabnya mereka lazim disebut Wahabi.
Istilah "Wahabi" dulu bersifat netral, akan tetapi karena terlalu sering digunakan oleh para pengkritik dan penentangannya sehingga lama kelamaan berkonotasi negatif. Barangkali faktor inilah yang menyebabkan para penganutnya lebih suka dipanggil Salafi.
Muhammad bin Abdul Wahab adalah seorang ahli teologi dan seorang pemimpin agama yang memiliki semangat memurnikan ajaran Islam, yang waktu itu dinilainya sudah banyak tercampur dengan berbagai bentuk kepercayaan lokal.
Ia berusaha mengembalikan ajaran Islam sehingga sesuai dengan yang dipraktikan oleh para sahabat, tabi'in, dan tabi'ut tabi'in. Dengan merujuk pada Al Qur'an dan Hadits. Perhatiannya terfokus pada bidang aqidah dan ibadah mahdah.
Ia sangat terpengaruh oleh tokoh-tokoh pembaharu seperti: Ibnu Taimiyah, Ahmad bin Hanbal, Ibnu Qayyim Al Jauziyyah, dan para pembaharu lain. Karena itu sikapnya sangat tegas dan lugas untuk tidak menggunakan istilah kaku. Mungkin istilah yang lebih cocok adalah "puritan", dengan slogannya kembali pada Al Qur'an dan Hadits.
Ia menentang berbagai praktik kaum sufi, yang dinilainya sudah sangat jauh dari Islam yang otentik, yang waktu itu banyak dilihatnya di Iran dan Irak. Hanya aspek yang terkait dengan upaya membersihkan hati yang ia bisa terima, dari berbagai ritual kelompok ini.
Pada tahun 1744, Muhammad bin Abdul Wahab bertemu dengan Muhammad bin Saud yang saat itu memiliki posisi sebagai Pangeran Dir'iyah. Keduanya lalu membangun aliansi dan bekerjasama.
Muhammad bin Abdul Wahab berkepentingan untuk mengembangkan dakwahnya, sementara Muhammad bin Saud berkepentingan untuk memperluas kekuasaannya. Terjadilah kolaborasi tokoh agama dengan tokoh politik.
Disamping terjadi perkawinan kepentingan (politik dan dakwah), hubungan keduanya diperkuat oleh pernikahan putri Muhammad bin Abdul Wahab dengan putra sekaligus penerus Muhammad bin Saud bernama Abdul Aziz.
Kolaborasi kedua tokoh ini berhasil menyatukan wilayah Najd dan Hijaz yang kemudian menjadi cikal-bakal lahirnya Kerajaan Saudi Arabia yang bertahan sampai sekarang. Sempat diduduki oleh Turki Usmani, akan tetapi saat Turki Usmani runtuh menjelang Perang Dunia Pertama, seluruh wilayah Saudi Arabia berhasil direbut kembali.
Bila disimpulkan, sejak awal sejatinya pengikut Salafi di Saudi Arabia akrab dengan politik, bahkan bisa dikatakan dibesarkan oleh kekuatan politik. Namun belakangan, penguasa Saudi Arabia yang didukung oleh para ulamanya, secara sistematis melakukan depolitisasi.
Keberhasilan agenda ini menyebabkan rakyat Saudi Arabia menjadi apolitik bahkan anti politik. Lebih jauh lagi, sebagian ulamanya sampai mengharamkan politik. Karena itu, keluarga Kerajaan tidak pernah direcoki oleh rakyatnya terkait dengan kekuasaan. Masalah kekuasaan kemudian menjadi masalah terbatas pada lingkaran keluarga bin Saud saja.
Kaum Salafi telah berjasa menjaga tempat-tempat suci Islam, khususnya di sekitar Makkah dan Madinah dari berbagai praktik yang masuk kategori Tahayul, Bid'ah, dan Khurafat.
Sebagai contoh: kiswah (penutup Ka'bah) dulu sering disilet para jamaah haji atau umrah saat tawaf, khususnya oleh jamaah yang datang dari anak benua India, seperti: Pakistan, Bangladesh, dan India, untuk dipergunakan sebagai jimat. Itulah sebabnya mengapa ujung-ujung bagian bawah kiswah ditarik ke atas agar tidak bisa digapai tangan.
Begitu juga kompleks makam Rasulullah yang berdampingan dengan makam Abu Bakar dan Umar di Madinah, selalu dijaga Asykar (Polisi) yang bertugas mengusir para penziarah yang kerap memohon segala sesuatu seperti jodoh, harta, jabatan, kesembuhan dari penyakit, dan lain sebagainya.
Para petugas ini sambil mengibaskan-ngibaskan tangannya selalu berteriak Haram...Haram...Haram.....! Atau....Ruh...Ruh...Ruh...
Kepada yang faham Bahasa Arab tidak jarang Askar ini juga suka menasehati, agar para penziarah berdoa untuk Rasulullah, keluarga, dan para sahabatnya, bukan sebaliknya mereka memohon kepada kuburan.
Sementara yang dikecam banyak orang adalah tindakan para penganut Salafi dalam menghancurkan tempat-tempat yang disucikan, termasuk rumah-rumah para sahabat dan bangunan yang memiliki nilai sejarah, bahkan sampai nisan kuburanpun ikut dicabuti.
Di Makkah yang tersisa hanya Ka'bah dan sumur Zam Zam, sementara di Madinah hanya kuburan Nabi, Abu Bakar, dan Utsman yang dapat dilihat. Konon ketiga kuburan inipun sempat akan dihancurkan.
Ditemukannya minyak yang menyebabkan Kerajaan Saudi berlimpah dolar, ikut mendorong tersebarnya pengikut Salafi ke seluruh dunia. Setelah hadir di berbagai belahan dunia, dengan kehidupan sosial, politik, ekonomi, dan budaya yang berbeda-beda, kini Kerajaan Saudi Arabia menyadari faham keagamaannya telah membentur berbagai dinding penghalang.
Apakah semua ini yang menjadi alasan Muhammad bin Salman (MBS) sebagai penguasa de facto Kerajaan Saudi Arabia saat ini, untuk melakukan koreksi dengan kebijakan liberalisasi di berbagai sektor kehidupan sosial dan ekonomi sebagai bagian dari pembaharuan yang dicanangkannya ?
Apakah MBS memiliki konsep yang jelas yang dilandasi pemahaman keagamaan yang mendalam ?
Wallahua'lam.
Pengamat Politik Islam dan Demokrasi
BERITA TERKAIT: